25.3.12

ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU TERANIAYA (1) Oleh Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi

Mencela dan melecehkan para sahabat dengan penghinaan dan tuduhan ngawur merupakan cara-cara pengikut iblis dan musuh-musuh Islam. Mereka, sebenarnya bertujuan mencela dan merendahkan para saksi kebenaran Islam, dan hendak mencela Rasulullah. Yaitu dengan menyatakan, bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki sahabat-sahabat yang jelek dan tidak memilih sahabat yang baik saja. Dengan cara ini, mereka ingin menghancurkan dan memadamkan cahaya Islam. Akan tetapi, mereka tidak akan mampu. Allah tidak ingin cahaya agamaNya padam, bahkan Allah menyempurnakan cahaya agamaNya, meskipun kaum kafir pengikut iblis tidak suka dan marah. Mereka hendak memadamkan sunnah Rasulullah dengan slogan-slogan yang seakan rahmat dan ilmiyah, namun hakikatnya menyimpan dendam, penipuan besar dan pandir. Misalnya dengan mengusung istilah “studi kritis hadits”, “studi ilmiah dan kebebasan berpendapat”. Ini semua hanyalah tipuan belaka dan fatamorgana. Tujuannya satu, yaitu menghancurkan Islam dengan segala cara. Oleh sebab itu, wahai kaum muslimin. Berhati-hatilah terhadap racun yang ditebarkan dimana-mana untuk merusak aqidah dan syariat kita. Diantara sahabat yang menjadi sasaran mereka adalah perawi yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dialah Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Dalam makalah singkat ini, kami berusaha mengungkap beberapa tuduhan yang dilontarkan musuh Islam. kepada Abu Hurairah, yang merupakan tokoh besar dalam periwayatan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami berusaha membantah dan membedahnya dengan tetap memohon kemudahan dan petunjuk Allah.

Berikut beberapa tuduhan dan kecaman para musuh Islam yang dilontarkan secara zhalim atas diri Abu Hurairah.

[1]

1. Mereka [2] menyatakan. Berbeda dengan para sahabat lain, para ahli sejarah tidak dapat memastikan nama sebenarnya dari Abu Hurairah, namanya dizaman jahiliyah maupun dizaman Islam. Begitu pula asal usulnya [3].

Juga menyatakan : Abu Hurairah bukan sahabat besar, bukan dari kaum muhajirin bukan Anshar, bukan penyair Rasul, bukan keluarga Rasul, malah asal-usulnya, orang tuanya, bahkan nama aslinyapun tidak diketahui orang.

[4] Tanggapan. Memang Abu Hurairah lebih dikenal dengan kunyah (julukannya) daripada namanya. Namun pernyataan diatas tidak benar seluruhnya, dan tidak dapat dijadikan alasan untuk melecehkan Abu Hurairah. Meskipun sejarah Abu Hurairah pada masa jahiliyah tidak dikenal, akan tetapi hal itu merupakan satu kewajaran; karena bangsa Arab –seluruhnyatenggelam dalam kejahiliyahan dan terkungkung di wilayah jazirahnya saja. Mereka tidak peduli dengan keadaan dunia. Begitu juga dunia tidak peduli dengan keadaan dan kondisi mereka, kecuali yang berhubungan dengan perniagaan, karena melintasi wilayah mereka. Baru, ketika Islam datang, Allah memuliakan dan menjadikan mereka sebagai pengemban risalahNya. Jadilah setiap individu dari mereka memiliki sejarah yang ditulis menjadi bahan pembicaraan. Dan para perawi, selalu memperhatikan berita mereka. Dan mereka pun memiliki murid yang selalu mengambil ilmu dan petunjuk dari mereka Para ahli sejarah mengetahui, bahwa terkenalnya seseorang dengan gelar atau julukannya merupakan perkara biasa dan wajar. Bahkan, terkadang seseorang berselisih dalam hal nama dan kunniyah (julukan)nya, sebagaimana khalifah pertama lebih dikenal dengan gelarnya, yaitu Abu Bakar. Begitu juga dengan Abu Ubaidah, Abu Dujanah dan Abu Darda’. Mereka adalah tokoh-tokoh besar dan pahlawan dari kalangan sahabat. Namun lebih lebih dikenal dengan gelar-gelar mereka, hingga sebagian besar manusia tidak mengetahui nama mereka yang sebenarnya. Kita belum pernah mendengar, pada kurun waktu tertentu, bahwa kedudukan dan keturunan dapat menentukan penghargaan intelektualitas.

[5] Karenanya, celaan dan pelecehan terhadap Abu Hurairah yang lebih dikenal dengan julukannya tersebut melebihi namanya adalah tidak benar. Apalagi para ulama Islam telah merajihkan namanya pada zaman Jahiliyah adalah Abdu Syamsi, dan setelah Islam berganti menjadi Abdurrahman. Kemudian tuduhan, bahwa dia tidak jelas asal usulnya, juga merupakaan satu kebodohan dari para penuduh ini, karena asal-usul dan nasab Abu Hurairah cukup terhormat.

[6] Apakah ihwal Abu Hurairah dalam hal ini berbeda dengan ihwal sahabat-sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lainnya? Lalu, mengapa ketidak jelasan sejarah kehidupan Abu Hurairah pada masa jahiliyah merusak kedudukan dan menghancurkan posisinya dalam Islam? Apakah Kitabullah ada menyebutkan, bahwa orang yang tidak dikenal sejarahnya sebelum Islam harus direndahkan dan dilecehkan posisi dan kedudukannya, serta diragukan semua riwayatnya berkaitan dengan haditshadits Rasul? Maha Suci Allah, sesungguhnya ini merupakan tuduhan dan tipu daya yang besar.

[7] 2. Mereka menyatakan. Abu Hurairah ada di Madinah hanya 1 tahun 9 bulan di Shuffah. Abu Hurairah datang kepada Rasulullah pada bulan Safar tahun 7 Hijriyah, setelah perang Khaibar dan tinggal di emperan Masjid Madinah (Shuffah) sampai bulan Zulkaidah tahun 8 Hijriyah, karena pada bulan itu ia disuruh Rasul ke Bahrain menemani Al Ala’ Al Hadhrami sebagai muadzdzin.

[8] Tanggapan Pernyataan ini tidak benar. Sebab Abu Hurairah bersahabat dengan Nabi sekitar 4 tahun lebih.

[9] Sebagaimana ditegaskan oleh Humaid bin Abdurrahman Al Himyari dengan pernyataannya: لَقِيتُ رَجُلًا صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعَ سِنِينَ كَمَا صَحِبَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ Aku berteman dan berjumpa dengan orang-orang yang bersahabat dengan Nabi sebagaimana persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi selama empat tahun.

[10] Sedangkan kepergian Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu menemani Al Ala’ Al Hadhrami, tidak menunjukkan bila beliau menetap disana sampai Rasulullah meninggal, apalagi adanya riwayat yang menyatakan beliau bermulazamah dengan Nabi selama empat tahun. Demikian juga pendapat yang didukung riwayat otentik, menunjukkan beliau ikut serta perang Khaibar meskipun tidak seluruhnya

[11] dan mengikuti haji bersama Abu Bakar Ash Shidiq tahun 9H. 3. Mereka menyatakan. Ia sendiri menceritakan bahwa ia mendatangi Rasul bukan karena ia mendapat hidayah atau karena kecintaannya kepada Nabi SAW seperti yang lain, tetapi untuk mendapatkan makanan. Dalam riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim, Abu Hurairah berkata: “Aku adalah seorang miskin, aku bersahabat dengan Rasul Allah untuk mengisi perutku.” Dan dalam riwayat lain: “Untuk memenuhi perutku yang lapar.” Dalam riwayat Muslim: “Aku melayani Rasul Allah untuk mengisi perutku.” atau “Aku menetap dengan Rasul Allah untuk mengisi perutku”

[12] Kemudian mereka menyatakan lagi : Ia juga punya hobi makan. Karena kesukaannya yang berlebihan akan makanan, maka sering juga disebut sebagai pembawa ‘hadis lesung’ (lesung-al-mihras- alat untuk menumbuk dan mengulek makanan. Lihat, “Hadits Lalat” dan “Hadits Pundi-pundi”)

[13] Tanggapan. Riwayat-riwayat yang dipakai mereka sebagai dasar tuduhan terhadap Abu Hurairah, bahwa beliau melakukan aktivitas mendengar hadits Rasulullah hanya untuk mencari sesuap nasi yang mengenyangkan perutnya; dengan kata lain, melakukannya hanya karena dunia yang rendah, memang diriwayatkan secara shahih dengan lafadz: أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّكُمْ تَقُولُونَ إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ يُكْثِرُ الْحَدِيثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُونَ مَا بَالُ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ لَا يُحَدِّثُونَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَإِنَّ إِخْوَتِي مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ صَفْقٌ بِالْأَسْوَاقِ وَكُنْتُ أَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مِلْءِ بَطْنِي فَأَشْهَدُ إِذَا غَابُوا وَأَحْفَظُ إِذَا نَسُوا وَكَانَ يَشْغَلُ إِخْوَتِي مِنْ الْأَنْصَارِ عَمَلُ أَمْوَالِهِمْ وَكُنْتُ امْرَأً مِسْكِينًا مِنْ مَسَاكِينِ الصُّفَّةِ أَعِي حِينَ يَنْسَوْنَ Sesungguhnya Abu Hurairah berkata: Kalian akan menyatakan, bahwa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadits. Dan Allahlah tempat (untuk membuktikan) janji. Juga mengatakan “Mengapa orang-orang Al Muhajirin dan Anshor tidak banyak meriwayatkan hadits, seperti periwayatan Abu Hurairah?” Sungguh, saudarasaudaraku dari Muhajirin disibukkan dengan jualbeli di pasar. Sedangkan saudara-saudaraku dari Anshor disibukkan oleh pengelolaan harta mereka. Adapun aku seorang miskin yang selalu mengikuti Rasulullah n selama perutku berisi. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku ingat dan paham saat mereka lupa.

[14] Pernyataan beliau Radhiyallahu 'anhu dalam lafadz pertama “Allah-lah tempat (membuktikan) janji” maksudnya adalah, bahwa Allah akan menghisabku jika aku sengaja berdusta, (dan) sekaligus akan menghisab orang-orang yang menuduhku dengan tuduhan yang keji.

[15]. Adapun pernyataan beliau Radhiyallahu 'anhu : “selama perutku berisi”, yakni merasa telah puas dengan sesuap makanan, sehingga selalu hadir di sisi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

[16] Dengan demikian, tuduhan terhadap beliau Radhiyallahu 'anhu sangat dipaksakan dan tidak ilmiyah. Hal itu karena Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu tidak sekedar menceritakan persahabatannya semata, sebagaimana persahabatan yang dimiliki sahabat lainnya. Namun, dalam pernyatannya tersebut, beliau Radhiyallahu 'anhu juga ingin menceritakan keistimewaan (yang dimilikinya). Keistimewaan tersebut adalah kebersamaannya dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak dimiliki sahabat lainnya. Keistimewaan tersebut dijelaskan dengan caranya (yang) tawadhu’, dengan menyatakan: “Selama perutku berisi”, lalu menyebutkan keistimewaan para sahabat lainnya, sebagai orang-orang yang mampu dan kuat mencari penghidupan. Hal ini, demi Allah, merupakan kesantunan yang luar biasa

.[17] Tuduhan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu banyak makan dan ambisi mendapatkan makanan, serta bersahabat dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya karena makanan, bukan karena hidayah Islam atau kecintaan kepada Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, sungguh ini merupakan tuduhan keji yang hanya dilontarkan oleh orang yang hasad atau orang yang memiliki kerusakan syaraf. Jika tidak, bagaimana mungkin seorang yang berakal dapat membenarkan pemahaman, bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu sanggup meninggalkan negerinya, kabilah dan tanah airnya demi menjumpai Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya (sekadar) untuk makan dan minum semata? Apakah Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu di kabilahnya tidak mendapatkan makan dan minum? Lalu untuk apa Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu datang ke Madinah? Apakah di negerinya ia tidak bisa mendapat makanan dan minuman sebagaimana yang diperoleh para petani dan pedagang disana? Tuduhan ini betul-betul pelecehan terhadap sahabat yang mulia ini. Dan para penuduh lebih layak dilecehkan dan diragukan keikhlasannya dibandingkan beliau Radhiyallahu 'anhu. Sejauh inikah kebutaan hati dan kedengkian mereka? Kemudian dalam pernyataan mereka ini terdapat penyimpangan makna, karena dalam riwayat tersebut bukan dengan lafazh “shuhbah” (bersahabat). Padahal yang benar, ialah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dengan lafazh “alzamu” (selalu menemani dan mengikuti). Demikian juga Imam Muslim meriwayatkannya dengan lafadz: “Aku adalah seorang miskin yang melayani Rasul selama perutku berisi”. Hal ini menunjukkan penyimpangan yang jelas dari pernyataan beliau Radhiyallahu 'anhu, sebab kata “persahabatan” (shuhbah) tidak sama dengan kata “mulazamah” dan “al khidmah” (melayani dan membantu). Sehingga pernyataan beliau Radhiyallahu 'anhu ini untuk menjelaskan sebab banyaknya periwayatan beliau terhadap hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti telah jelas dari alur pernyataannya. Para penuduh ini, disamping telah melakukan tahrif (penyimpangan) di atas, mereka juga memotong pernyataan beliau Radhiyallahu 'anhu sehingga merubah konotasi maknanya, sehingga terfahami bahwa pendorong utama persahabatan beliau adalah mencari sesuap makanan. Padahal semua itu beliau katakan untuk menjelaskan sebab yang menjadikannya sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Demikianlah, tahrif (menyimpangkan sesuatu dari lafazh atau makna sebenarnya), sudah menjadi adat kebiasaan orang yang menyimpang dari jalan lurus dan penyembah hawa nafsu. Dari manakah mereka mengklaim (menganggap) diri mampu mengungkapkan secara benar dan jelas sebab persahabatan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ? Apakah mereka lebih tahu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah memberikan pengakuan dan pujiannya kepada Abu Hurairah?

[18] Mereka tidak cukup hanya dengan itu, bahkan menyatakan, bahwa makna lafazh (عَلَى) pada perkataan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu (‘عَلَىمِلء بَطْنِيْ) bermakna untuk yang menunjukkan sebab. Ini juga merupakan kedustaan dan penipuan lain, sekaligus sebagai bukti bila mereka selalu mencari jalan untuk menjatuhkan pribadi Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Pernyataan Abu Hurairah ini telah difahami dengan benar oleh para ulama Islam, seperti pernyataan Imam Nawawi ketika menjelaskan perkataan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu (ala mil’i bathni): maknanya, aku senantiasa mulazamah dengan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku rela dengan makananku. Aku tidak mengumpulkan harta untuk simpanan dan tidak untuk yang lainnya. Dan akupun tidak berusaha menambah porsi makanan bagiku. Adapun maksud pernyataan beliau Radhiyallahu 'anhu “melayani”, bukan sebagai upaya untuk memperoleh gaji atau upah.

[19] Sungguh sangat jelas kebatilan tuduhan ini. 4. Mereka menyatakan. Ia mendatangi para sahabat seperti ‘Umar dan Abu Bakar dengan berpura-pura meminta dibacakan sebuah ayat Al Qur’an, menurut pengakuannya sendiri, padahal ia ingin agar ditawari makanan, tetapi tiada seorang sahabatpun menawarkan makanan kepadanya, kecuali Ja’far bin Abi Thalib, yang langsung mengajak Abu Hurairah ke rumahnya. Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah: “Demi Allah, tiada lain kecuali Dia, aku sering menekan perutku ke bumi karena lapar, dan pada suatu hari, karena lapar, aku sering menekan perutku dengan batu sambil duduk di jalan tempat mereka keluar dari masjid. Aku bertemu dengan Abu Bakar dan aku bertanya kepadanya tentang ayat kitab Allah, dan aku tidak menanyainya kecuali (dengan maksud) agar dia memberi aku makan; tapi ia berlalu dan tidak melakukannya. Dan ‘Umar bertemu denganku dan aku bertanya mengenai ayat kitab Allah, aku tidak bertanya (kepadanya) kecuali agar ia mengajak aku makan, dan ia tidak melakukannya. Bukhari: “Aku bila bertanya mengenai sebuah ayat (Al Qur’an) kepada Ja’far (bin Abu Thalib), maka dia tidak akan menjawab kecuali setelah ia mengajakku ke rumahnya”. Di bagian lain : “Aku meminta kepada Ja’far bin Abi Thalib untuk membacakan kepadaku ayat (Al Qur’an), yaitu artinya, agar dia memberi aku makan, dan dia (Ja’far bin Abu Thalib) adalah orang yang paling baik terhadap orang miskin. Ia mengajak kami ke rumahnya dan memberi kami makan seadanya.”

[20] Tanggapan. Kisah ini dibawakan imam Al Bukhari yang lengkapnya berbunyi: اللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ إِنْ كُنْتُ لَأَعْتَمِدُ بِكَبِدِي عَلَى الْأَرْضِ مِنْ الْجُوعِ وَإِنْ كُنْتُ لَأَشُدُّ الْحَجَرَ عَلَى بَطْنِي مِنْ الْجُوعِ وَلَقَدْ قَعَدْتُ يَوْمًا عَلَى طَرِيقِهِمْ الَّذِي يَخْرُجُونَ مِنْهُ فَمَرَّ أَبُو بَكْرٍ فَسَأَلْتُهُ عَنْ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَا سَأَلْتُهُ إِلَّا لِيُشْبِعَنِي فَمَرَّ وَلَمْ يَفْعَلْ ثُمَّ مَرَّ بِي عُمَرُ فَسَأَلْتُهُ عَنْ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَا سَأَلْتُهُ إِلَّا لِيُشْبِعَنِي فَمَرَّ فَلَمْ يَفْعَلْ ثُمَّ مَرَّ بِي أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَبَسَّمَ حِينَ رَآنِي وَعَرَفَ مَا فِي نَفْسِي وَمَا فِي وَجْهِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْحَقْ وَمَضَى فَتَبِعْتُهُ فَدَخَلَ فَاسْتَأْذَنَ فَأَذِنَ لِي فَدَخَلَ فَوَجَدَ لَبَنًا فِي قَدَحٍ فَقَالَ مِنْ أَيْنَ هَذَا اللَّبَنُ قَالُوا أَهْدَاهُ لَكَ فُلَانٌ أَوْ فُلَانَةُ قَالَ أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْحَقْ إِلَى أَهْلِ الصُّفَّةِ فَادْعُهُمْ لِي قَالَ وَأَهْلُ الصُّفَّةِ أَضْيَافُ الْإِسْلَامِ لَا يَأْوُونَ إِلَى أَهْلٍ وَلَا مَالٍ وَلَا عَلَى أَحَدٍ إِذَا أَتَتْهُ صَدَقَةٌ بَعَثَ بِهَا إِلَيْهِمْ وَلَمْ يَتَنَاوَلْ مِنْهَا شَيْئًا وَإِذَا أَتَتْهُ هَدِيَّةٌ أَرْسَلَ إِلَيْهِمْ وَأَصَابَ مِنْهَا وَأَشْرَكَهُمْ فِيهَا فَسَاءَنِي ذَلِكَ فَقُلْتُ وَمَا هَذَا اللَّبَنُ فِي أَهْلِ الصُّفَّةِ كُنْتُ أَحَقُّ أَنَا أَنْ أُصِيبَ مِنْ هَذَا اللَّبَنِ شَرْبَةً أَتَقَوَّى بِهَا فَإِذَا جَاءَ أَمَرَنِي فَكُنْتُ أَنَا أُعْطِيهِمْ وَمَا عَسَى أَنْ يَبْلُغَنِي مِنْ هَذَا اللَّبَنِ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ طَاعَةِ اللَّهِ وَطَاعَةِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُدٌّ فَأَتَيْتُهُمْ فَدَعَوْتُهُمْ فَأَقْبَلُوا فَاسْتَأْذَنُوا فَأَذِنَ لَهُمْ وَأَخَذُوا مَجَالِسَهُمْ مِنْ الْبَيْتِ قَالَ يَا أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ خُذْ فَأَعْطِهِمْ قَالَ فَأَخَذْتُ الْقَدَحَ فَجَعَلْتُ أُعْطِيهِ الرَّجُلَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ فَأُعْطِيهِ الرَّجُلَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ رَوِيَ الْقَوْمُ كُلُّهُمْ فَأَخَذَ الْقَدَحَ فَوَضَعَهُ عَلَى يَدِهِ فَنَظَرَ إِلَيَّ فَتَبَسَّمَ فَقَالَ أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بَقِيتُ أَنَا وَأَنْتَ قُلْتُ صَدَقْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ اقْعُدْ فَاشْرَبْ فَقَعَدْتُ فَشَرِبْتُ فَقَالَ اشْرَبْ فَشَرِبْتُ فَمَا زَالَ يَقُولُ اشْرَبْ حَتَّى قُلْتُ لَا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أَجِدُ لَهُ مَسْلَكًا قَالَ فَأَرِنِي فَأَعْطَيْتُهُ الْقَدَحَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَسَمَّى وَشَرِبَ الْفَضْلَةَ

Demi, Allah. Tidak ada sesembahan yang benar, kecuali Dia. Sungguh aku tempelkan perutku ke tanahkarena lapar dan aku ganjal perutku dengan batu menahan lapar. Sungguh, pada suatu hari aku duduk di jalan yang biasa mereka pakai pulang dari (bertemu) Rasulullah Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Abu Bakar melintasi jalan itu. Aku pun bertanya kepadanya tentang satu ayat Al Qur’an. Dan tidaklah aku menanyakannya, kecuali agar Abu Bakar menjamuku. Dia pun melewatiku dan tidak berbuat apa-apa. Lalu melintas di jalan itu, Umar bin Al Khaththab. Aku pun bertanya kepadanya satu ayat Qur’an. Dan tidaklah kutanyakan hal itu, kecuali agar ia menjamuku. Namun ia pun melintas dan tidak berbuat apa-apa. Kemudian setelah itu Abul Qasim Muhammad Shalalllahu ‘alaihi wa sallam.melintas di jalan itu seraya tersenyum ketika memandangku. Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. mengetahui yang sedangbergejolak dalam hatiku dan yang tersirat dariwajahku. Kemudian Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. memanggilku,”Wahai,Abu Hirr,” aku pun menjawabnya,”Aku penuhi panggilanmu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda,”Ikuti aku.” Beliau beranjak meninggalkanku dan aku pun mengiringi di belakang Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. Beliau masuk rumah dan aku pun meminta izin dan diizinkan. Ketika Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. memasuki rumah, Beliau mendapati susu dalam gelas besar (bejana). Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. bertanya,”Darimana susu ini?” Mereka (isteri-isteri Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam ) Radhiyallahu ‘anhum menjawab,”Hadiah dari fulan atau fulanah untuk engkau.”

Beliaupun memanggilku,”Wahai, Abu Hirr.”Aku pun menjawabnya,”Kupenuhi panggilanmu,wahai Rasul.” Beliau bersabda,”Temuilah Ahlush Shuffah dan undanglah mereka kesini.” Kata Abu Hurairah, Ahlush Shuffah adalah tamu Islam. Mereka tidak bersandar kepada keluarga tertentu. Tidak memiliki harta dan famili seorang pun juga. Jika datang kepada Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. shadaqah, Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. kirimkan makanan tersebut kepada mereka dan sama sekali tidak ikut mencicipi makanan tersebut. Jika datang kepada Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. berupa hadiah (untuknya), maka Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam pun mengirimkannya kepada Ahlush Shuffah dan ikut bersama menikmatinya. Hal itu kurang berkenan bagiku, maka aku berkata (dalam hati),”Apakah susu ini cukup untuk Ahlush Suffah?! Menurutku, akulah yang berhak pertama kali meminum susu agar aku menjadi kuat dengannya. Maka ketika Beliau datang, Beliau memerintahkan kepadaku untuk membagikannya kepada mereka. Padahal, mungkin susu itu tidak akan sampai kepadaku. Namun, mentaati Allah dan RasulNya merupakan keharusan, maka akupun mendatangi dan mengundang mereka. Lalu mereka datang dan mohon izin masuk. Kemudian Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam pun mengizinkannya.Lalu mereka mengambil posisi masing-masing di tempat yang ada di rumah Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memanggilku,”Wahai, Abu Hirr.” Aku pun menjawabnya,”Kupenuhi panggilanmu, wahai Rasul ….” Beliau bersabda lagi,”Ambil dan bagikan kepada mereka.” Aku pun mengambil gelas dan memberikannya kepada salah seorang (diantara mereka); ia meminumnya hingga puas dan kenyang, lalu ia kembalikan gelas itu dan aku berikan kepada orang lain; lalu meminumnya sampai puas dan kenyang. Begitu seterusnya hingga berakhir kepada Nabi Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. dalam keadaan seluruh Ahlush Shufah kenyang. Lalu Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. mengambil gelas tadi dan meletakkannya di atas tangan Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. Seraya memandangku sambil tersenyum dan bersabda,”Wahai, Abu Hirr! Tinggal aku dan kamu (yang belum minum). Aku menjawab, “Benar wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Duduk dan minumlah.” Akupun duduk dan meminumnya. Lalu Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. bersabda lagi,”Minumlah,” lalu aku minum. Beliau terus memerintahkan kepadaku minum, sehingga aku berkata,”Cukup. Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak lagi aku dapati tempat untuk minuman dalam tubuhku. Beliau bersabda,”Berikanlah kepadaku,” aku pun menyerahkan gelas tadi, kemudian Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam memuji Allah dan meminum susu yang tersisa.

[21] Mereka berdalih dengan kisah ini untuk menguatkan pernyataan mereka dalam mencela Abu Hurairah sebagai orang yang beramal untuk sesuap makanan. Akan tetapi, apakah karena kejadian tersebut, lalu kita tolak seluruh hadits-hadits beliau, hingga sampai menghina sebagai orang yang memiliki hobi makan dan disebut sebagai pembawa hadits lesung?! Orang yang meneliti kehidupan para sahabat akan mendapatkan bahwa dalam hal seperti ini, beliau Radhiyallahu ‘anhu tidak sendirian. Ada diantara sahabat yang berbuat hal serupa, diantaranya Watsilah bin Al Asqa’ sebagaimana diriwayatkan Al Hakim dengan lafazh: “Kami tinggal selama tiga hari. Setiap orang yang menuju masjid mengajak dua dan tiga orang sesuai dengan kemampuannya, dan memberi mereka makan”. Beliau berkata lagi,”Aku termasuk yang tidak dibawa selama tiga hari tiga malam. Tiba tiba aku melihat Abu Bakar di kegelapan malam. Aku pun mendatanginya dan memintanya untuk membacakan surat Saba’ hingga sampai di rumahnya. Aku berharap ia mengundangku makan malam. Lalu ia pun membacakannya kepadaku hingga depan pintu rumahnya, kemudian berhenti di depan pintu sampai selesai membacakan seluruhnya. Kemudian ia masuk dan meninggalkanku di luar. Kemudian aku menemui Umar. Aku berbuat seperti itu dan ia (pun) berbuat serupa dengan perbuatan Abu Bakar terdahulu. Keesokan harinya, pagi-pagi aku menemui Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menceritakan hal tersebut padanya, dan Beliaupun menjamuku.”

[22] Apakah kita menolak seluruh hadits Waatsilah karena peristiwa ini? Sedangkan kisah Abu Haurairah dengan Ja’far bin Abu Thalib dibawakan imam Bukhori dengan lafadz: خَيْرُ النَّاسِ لِلْمَسَاكِينِ جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ يَنْقَلِبُ بِنَا فَيُطْعِمُنَا مَا كَانَ فِي بَيْتِهِ حَتَّى إِنْ كَانَ لَيُخْرِجُ إِلَيْنَا الْعُكَّةَ لَيْسَ فِيهَا شَيْءٌ فَنَشْتَقُّهَا فَنَلْعَقُ مَا فِيهَا Sebaik-baik manusia terhadap orang miskin adalah Ja’far bin Abu Thalib. Dia terus mengunjungi kami dan memberi makan kami apa yang ada di rumahnya, sampai-sampai membawa tempat makanan tanpa berisi makanan. Kami pun memegangnya, lalu menjilati sisa yang ada di tempat makanan tersebut.

[23] Lihatlah perbedaan dan penukilan sembarangan yang menjadi ciri khas ahli bid’ah dan musuh Islam!

5. Mereka menyatakan: Keperibadian Abu Hurairah lemah. Tatkala kembali dari Bahrain, Umar bin Khaththab mencurigainya menggelapkan uang baitul mal. ‘Umar menuduhnya sebagai pencuri dan menyebutnya sebagai musuh Allah dan musuh kaum muslimin, dalam riwayat lain, musuh Kitab atau musuh Islam.

[24] Tanggapan. Pernyataan mereka ini berdasarkan riwayat yang disampaikan Ibnu Sa’ad dengan sanad yang shahih tentang kisah kepulangan Abu Hurairah dari tugasnya sebagai Amir (Gubernur) Bahrain. Beliau menghadap Umar bin Khaththab dengan membawa uang sebanyak 400.000 dari Bahrain. Umar Radhiyallahu 'anhu bertanya kepadanya: “Apakah engkau menzhalimi seseorang?”Ia menjawab,”Tidak.” Umar Radhiyallahu 'anhu bertanya lagi, ”Apakah engkau mengambil sesuatu dengan tidak benar?” Ia menjawab, ”Tidak.” Umar Radhiyallahu 'anhu bertanya lagi, ”Berapa banyak yang engkau bawa untuk pribadi?” Ia menjawab, ”Sebanyak 20.000.” Umar Radhiyallahu 'anhu bertanya, ”Dari mana engkau mendapatkannya?” Ia menjawab, ”Aku berdagang.” Umar Radhiyallahu 'anhu berkata, ”Hitunglah modal dan rizkimu (gajimu), maka ambillah. Sedang yang lainnya simpanlah diBaitul Mal.”

[25] Dalam lafazh Abu Ubaid, (disebutkan) Umar berkata kepadanya: “Wahai, musuh Allah dan musuh KitabNya. Apakah engkau mengambil (mencuri) harta?” Ia menjawab,”Aku bukan musuh Allah dan bukan musuh KitabNya. Akan tetapi aku adalah musuh bagi yang menentang keduanya dan aku tidak mencuri harta Allah.” Umar bertanya kembali: “Dari mana terkumpul untukmu uang sejumlah 10.000 dirham?” Ia menjawab,”Kudaku berkembang biak. Pemberian untukku selalu aku dapatkan. Begitu juga sahamku (bagianku dari pembagian rampasan perang) juga berkembang dan bertambah.” Lalu Umar mengambilnya dariku. Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata, ”Ketika kutunaikan shalat Shubuh, aku mintakan ampunan untuk Amirul mukminin.”

[26] Perhatikanlah! Bagaimana para musuh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu memanfaatkan perkataan keras Umar Radhiyallahu 'anhu ini untuk mencaci Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, kemudian menuduhnya telah mencuri dan merampas; padahal permasalahannya tidaklah demikian. Umar Radhiyallahu 'anhu melakukan pengambilan sebagian harta tersebut terhadap beberapa pejabatnya [27] dan tidak mengkhususkan kepada Abu Hurairah saja. Sebabnya, ketika Amr bin Ash Sha’iq melihat harta para pejabat semakin bertambah banyak, ia merasa aneh, lalu menulis surat kepada Umar bin Al Khaththab dalam bentuk bait-bait syi’ir.

[28] Lalu Umar Radhiyallahu 'anhu pun mengirim utusan kepada para petugas. Diantara mereka adalah Sa’ad Radhiyallahu 'anhu, dan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, lalu ia mengambil harta mereka menjadi setengah bagian. [29] Begitu juga ia memutasi Abu Musa Al Asy’ari dari tugas di Bashrah, dan hartanya dibagi menjadi dua bagian. Demikian juga pada Al Haarits bin Wahb.[30] Umar Radhiyallahu ‘anhu tidaklah menuduh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dan tidak juga hanya mengambil harta miliknya saja. Bahkan itulah sistem politik Umar Radhiyallahu ‘anhu terhadap para pejabatnya; bukan atas dasar syubhat, namun itu merupakan ijtihad dan kehebatan beliau dalam mengatur perkara-perkara kaum muslimin.

[31] Sungguh Umar Radhiyallahu ‘anhu sangat mencintai sahabat, sebagaimana ia mencintai dirinya. Dan beliau sangat tidak suka, bila salah seorang dari mereka mendapatkan harta yang berbau syubhat. Perbuatan beliau ini banyak diriwayatkan dalam perjalanan hidupnya.[32] Khalifah Umar Radhiyallahu ‘anhu khawatir atas mereka. Jangan-jangan orang bermu’amalah dalam perdagangan dan usaha dengan mereka karena jabatan yang disandangnya. Karenanya, beliau mengambil sebagian dari harta mereka dan meletakkannya di Baitul Mal agar terlepas tanggungjawabnya di hadapan Allah Ta’ala. Kemudian ia pun memberikan kepada mereka dari harta Baitul Mal sesuai jumlah yang layak. Dengan demikian menjadi halallah bagi mereka, tanpa ada syubhat. [33] Para penuduh tersebut hanya memandang dan menukil riwayat ini sesuai dengan keinginannya, lalu menjadikanya sebagai senjata untuk menyerang sahabat Abu Hurairah dan menuduhnya berkepribadian lemah, tanpa menyebutkan riwayatnya secara lengkap. Padahal dalam riwayat tersebut terdapat bantahan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu terhadap Umar Radhiyallahu ‘anhu , yaitu ketika Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya “Wahai, musuh Allah dan musuh kitabNya. Apakah engkau telah mencuri harta Allah?”, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menjawab,”Aku bukan musuh Allah dan bukan musuh KitabNya. Akan tetapi aku adalah musuh bagi yang menentang keduanya.” Dengan demikian jelaslah, bahwa Umar tidak mencurigai dan menuduh Abu Hurairah mencuri. Hal ini dibuktikan dengan keinginannya mengangkat kembali Abu Hurairah untuk kedua kalinya. Sebagaimana diriwayatkan Abu Ubaid setelah riwayat di atas dengan bunyi: “Kemudian, setelah itu Umar Radhiyallahu 'anhu berkata kepadaku: “Bukankah engkau mau bertugas kembali?” Aku menjawabnya: “Tidak”. Ia berkata: “Mengapa (tidak mau), padahal telah bertugas orang yang lebih baik darimu, yakni Yusuf”. Akupun menimpalinya, ”Sesungguhnya Yusuf seorang nabi dan anak seorang nabi pula. Sedangkan aku adalah anak Umaimah, dan aku takut tiga dan dua”. Umar Radhiyallahu 'anhu berkata,”Kenapa engkau tidak berkata lima?” Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu menjawab,”Aku takut berbicara tanpa dasar ilmu dan memutuskan tanpa hilm (sabar dan hati-hati).” Atau ia berkata: “Aku berkata tanpa hilm (sabar dan hati-hati), dan aku memutuskan perkara tanpa dasar ilmu”. Seorang perawi (dari Ibnu Sirin.) berkata: “Keraguan ini berasal dari Ibnu Sirin”. (Lalu Abu Hurairah berkata lagi, Edt),”Dan aku takut akan dipukul punggungku dan dicela kehormatanku dan diambil hartaku dengan paksa.”

[34] Seandainya Umar Radhiyallahu 'anhu telah mengetahui Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu pernah berkhianat, niscaya tidak akan memakainya sama sekali dan tidak akan memanggilnya untuk kedua kalinya. Seandainya Khalifah Umar Radhiyallahu 'anhu meragukan sedikit saja sifat amanah Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, tentu beliau akan menghakimi dan menghukumnya dengan hukuman syar’i. Beliau telah mengetahui sifat amanah dan keikhlasannya, maka beliaupun kembali menemui Abu Hurairah meminta menjadi pejabat beliau.

[35] [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016 ] _______ Footnote [1]. Semua tuduhan dan kecaman dalam pembahasan ini diambil dari sebagian syubhat yang dilontarkan dalam buku Saqifah Awal Perselisihan Umat, karya seorang penganut Syi’ah bernama O. Hashem, Cetakan ketiga tahun 1415 H –1994 M, Penerbit Al Muntazhar, Jakarta Barat. Hal ini dilakukan karena buku ini hanya menukil tuduhan dan kecaman para pendahulunya dari kalangan orang Syi’ah dan musuh-musuh Islam. Peringatan kami, hendaklah kaum muslimin berhati-hati terhadap buku ini karena berisi kebohongan dan kelicikan dalam mengolah kata, sehingga dapat mengelabuhi kaum muslimin yang tidak memiliki dasar pengetahuan Islam yang baik. Kemudian jawabannya kami ambil dari kitab Difa’un ‘An Abi Hurairah, karya Abdul Mun’im Shalih Al ‘Ali Al ‘Izzi, tanpa tahun, Dar Al Syuruq, Bairut dan juga kitab As Sunnah Qabla At Tadwin, karya Dr. Muhammad ‘Ajaj Al Khathib, Cetakan kelima, Tahun 1401 H, Dar El Fikar, Bairut, dan kitab-kitab hadits serta beberapa referensi lainnya. [2]. Kami gunakan kata “mereka” disini, karena tuduhan ini juga dilontarkan oleh orang lain, baik di Indonesia atau di negara lainagar lebih bersifat umum. Karena penulis buku Saqifah hanya mengekor dan menukil dari orang lain, diantaranya Abu Rayah (di Mesir) atau orang-orang Syi’ah lainnya. [3]. Saqifah, op.cit. hlm. 12. [4]. Ibid. hlm. 20 [5]. Dikutip dari kitab Difa’un ‘An Abu Hurairah, yang merupakan pernyataan Al Ustadz Al Kahthib dalam kitab Abu Hurairah Rawiyatul Islam, hlm. 213. [6]. Lihat biografi beliau dalam Mabhats majalah ini; Kehidupan Sahabat yang Mulia Abu Hurairah. [7]. Dikutip dari pernyataan Dr. As Siba’i dalam Sunnah Wa Makanatuha, hlm. 307. [8]. Saqifah, op.cit. hlm. 11. [9]. Siar A’lami An Nubala, karya Adz Dzahabi, Tahqiq Syu’aib Al Arnauth, Maktabah Ar Risalah, Bairut, hlm. II/426. [10]. Musnad Ahmad, no. 16793; Abu Dawud, dalam Sunan-nya, kitab Ath Thaharah, Bab An Nahyu ‘An Dzalika, no. 73, hlm. I/19; An Nasa’i, dalam Sunan-nya, kitab Az Zinah, Bab Al Akhdzi ‘An Asy Syarib, no. 4968, hlm. I/130 dengan sanad-sanad yang shahih. [11]. Lihat Riwayat-riwayat tersebut dalam kitab Difa’un ‘An Abi Hurairah, karya Abdul Mun’im Al’Izzi, hlm. 25-26. [12]. Saqifah, op.cit. 12. [13]. Ibid, hlm. 14. [14]. Al Bukhari, dalam Shahih-nya, kitab Al Buyu’, Bab Ma Ja’a Fi Qaulihi Ta’ala Faidza Qadhaita Ash Shalat, no. 1906 - III/135 dan Ahmad bin Hambal dalam Musnad Ahmad, hadits no. 7273. [15]. Fathul Bari, karya Ibnu Hajar, tanpa tahun, Maktabah As Salafiyah, hlm. V/28. [16]. Fathul Bari, op.cit. IV/288. [17]. Dari pernyataan Al Mu’alimi t dalam Al Anwar Al Kasyifah, hlm. 147. [18]. Lihat pujian Rasulullah kepadanya dalam mabhas Abu Hurairoh dalam pandangan salaf al Sholeh. [19]. Syarh An Nawawi terhadap Shahih Muslim, Tashhih Syaikh Khalil Ma’mun Syaiha, Cetakan ketiga, Tahun 1317 H, Dar Al Ma’rifah, Baerut, hlm. XV/270. [20]. Saqifah, op.cit. hlm. 12. [21]. Shahih Al Bukhari, kitab Ar Riqaq, Bab Kaifa ‘Isy Rasulullah Wa Ashhabihi Wa Takhallihim Min Ad Dunya, no. 5971, hlm. VIII/120. [22]. Dinukil dari Difa’un ‘An Abi Hurairah, op.cit. hlm. 45-46, dari Al Mustadrak, IV/116. [23]. Al Bukhari, dalam Shahih-nya, kitab Al Ath’imah, BabAl Halwa Wal Asl, no. 5431, hlm. IX/557. [24]. Saqifah, op.cit. hlm. 13. [25]. Thabaqat Ibnu Sa’ad, IV/336 dengan sanad yang shahih. [26]. Al Amwal, oleh Abu Ubaid, hlm. 269. [27]. Al Bidayah Wan Nihayah, VlIII/13. [28]. Al Amwal, oleh Abu Ubaid, hlm. 269. Muhammad ‘Ajaj Al Khathib menyebutkan di halamaan 225 dari Thabaqat Ibnu Sa’ad,105/J.3/Q.2. [29]. Al Amwal, oleh Abu Ubaid, hlm. 269; dinukil dari Difa’un ‘An Abi Hurairah, op.cit. hlm. 141 dan menyatakan bahwa Muhammad ‘Ajaj Al Khathib menyebutkan di halaman 225 dari Tahabaqat lbnu Sa’ad, 105/J.3/Q.2. [30]. Difa’un ‘An Abi Hurairah, op.cit. hlm. 140 dan menyatakan bahwa Muhammad ‘Ajaj mengisyaratkan di halaman 225, bahwa Ibnu Abdi Rabbih menyebutkan berita keduanya dalam Al Aqdu Al Farid, I/33. [31]. Abu Hurairah Rawiyatul Islam, halaman 225; As Sunnah Qabla At Tadwin, halaman 438. [32]. Al Anwaar Al Kasyifah, karya Abdurrahman Al Mu’allimi, hlm. 213. [33]. Ibid. [34]. Al Amwal, oleh Ibnu Ubaid, hlm. 269 dengan sanad yang shahih dari jalan Yazid bin Ibrahim At Tasaturi dari lbnu Sirin, dan kisah itu sendiri dalam Al Mustadrak, 11/ 347 dan Uyunu Al Atsar, I/53. diambil dari Difa’un ‘An Abu Hurairah, op.cit. hlm. 142. [35]. As Sunnah Qabla At Tadwin, hlm. 438.