30.7.10

Dari www.hakekat.com

*If anyone is going to free Iran from prostitution (Sighe/Mot'ah), Khumus (illegally robbing money of poor people by tyre heads), civilize people who otherwise behave like animals crawling, banging heads with both hands, cutting themselves and their children with knives........ then it will the Muslims of Iran (Ahle Sonnat)
====================================================

Ali bin abi Thalib dan nikah mut'ah

Apa kata Ali tentang nikah mut’ah? Barangkali ada yang telah membacanya dari kitab-kitab sunni, ini hal biasa, tetapi kali ini kami nukilkan dari kitab syi’ah. Sebenarnya bagaimana hukum nikah mut’ah menurut Ali? Saya mengajak pembaca menyimak titah imam syiah yang dianggap maksum. Anda akan mendapat informasi berharga.



Bagi syiah Ali adalah sosok imam maksum, suci tanpa cela. Titahnya harus ditaati, mengingat posisinya sebagai imam di mata syiah, yang meyakini bahwa imam adalah penerus dari kenabian. Sedangkan posisi Ali adalah imam pertama setelah Nabi wafat, yang konon dilantik sendiri oleh Rasulullah.

Bagi Syiah, Ali-lah orangnya yang ditunjuk untuk menjadi penerus misi kenabian, beserta sebelas orang anak cucunya. menjadi penerus kenabian artinya meneruskan lagi misi kenabian, yaitu menyampaikan risalah Allah pada manusia di bumi. Tentunya ketika menyampaikan misinya tidak berbohong dan tidak keliru, karena para imam –menurut syiah- adalah maksum, terjaga dari salah dan lupa, maka tidak mungkin keliru dalam menyampaikan amanat risalah, juga tidak mungkin berbohong ketika menyampaikan hadits Nabi.

Salah satu hal aksiomatis dalam mazhab syiah adalah nikah mut’ah, seperti dinyatakan oleh Al Hurr Al Amili dalam Wasa’ilu Syi’ah jilid 21 hal 13. Al Amili mengatakan : bolehnya nikah mut’ah adalah perkara aksiomatis dalam mazhab syiah”. 

Bukan Al Hurr Al Amili sendirian yang menganggap bolehnya nikah mut’ah adalah hal aksiomatis dalam mazhab syiah, Al Majlisi juga menyatakan demikian: beberapa hal yang termasuk perkara aksiomatis dalam agama syi’ah, kata Majlisi, adalah menghalalkan mut’ah, haji tamattu’ dan memusuhi Abubakar, Umar, Utsman dan Muawiyah. Bisa dilihat dalam Al I’tiqad hal 90-91.

Yang disebut aksiomatis adalah hal penting yang harus diyakini oleh penganut syiah. Begitulah penganut syiah di masa lalu, hari ini dan sampai akhir nanti akan terus meyakini bolehnya nikah mut’ah. Sesuatu bisa menjadi aksiomatis dalam syiah mestinya karena sudah digariskan oleh para imam syiah yang 12, yang menjadi rujukan syiah selama ini dalam penetapan hukum, paling tidak itulah pengakuan syiah selama ini, yaitu mereka merujuk pada penjelasan para imam. Apalagi imam pertama mereka setelah Nabi yaitu Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi yang – lagi-lagi menurut syiah- paling mengetahui ajaran Islam dibanding sahabat lain.

Demikian pula syiah di Indonesia, mereka meyakini bolehnya mut’ah, dan menyebarkan hal itu pada penganut syiah. hingga akhirnya praktek mut’ah marak di mana-mana, dengan keyakinan bahwa mut’ah adalah ajaran keluarga Nabi yang boleh dikerjakan. Di sini pelaku mut’ah mendapatkan tiga kenikmatan, yang pertama kenikmatan melakukan “ajaran” keluarga Nabi, yang pasti mendapatkan pahala dengan melakukannya, yang kedua, kenikmatan hubungan seksual, melampiaskan hasrat yang telah digariskan Allah pada manusia. Sementara yang ketiga, bisa berganti-ganti pasangan, karena mut’ah adalah praktek pembolehan hubungan seksual antara laki-laki dan wanita untuk sementara waktu. Pembaca –yang laki-laki tentunya- bisa membayangkan betapa nikmatnya.

Ahlussunnah menganggap nikah mut’ah adalah haram sampai hari kiamat, meskipun pada beberapa saat pernah dibolehkan oleh Rasulullah SAWW. Pengharaman ini berdasarkan keterangan dari Rasulullah SAWW sendiri yang mengharamkannya. Beberapa tahun kemudian Umar menyampaikan pengharaman tersebut pada para sahabat Nabi ketika menjabat khalifah. Namun syi’ah selalu menghujat ahlussunnah yang dalam hal ini mengikuti sabda Nabi, dan menuduh Umar –lah- yang mengharamkan nikah mut’ah, bukan Nabi. Artinya di sini Umar telah mengharamkan perbuatan yang halal dilakukan. Dan hujatan-hujatan lainnya, yang intinya adalah Rasulullah tidak pernah mengharamkan mut’ah, karena yang mengharamkan adalah Umar mengapa kita mengikuti Umar dan meninggalkan apa yang dihalalkan oleh Rasulullah SAWW? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Namun ada yang janggal di sini, ternyata Ali malah dengan tegas meriwayatkan sabda Nabi tentang haramnya nikah mut’ah. Riwayat ini tercantum dalam kitab Tahdzibul Ahkam karya At Thusi pada jilid 7 halaman 251, dengan sanadnya dari :

Muhammad bin Yahya, dari Abu Ja’far dari Abul Jauza’ dari Husein bin Alwan dari Amr bin Khalid dari Zaid bin Ali dari ayahnya dari kakeknya dari Ali [Alaihissalam] bersabda: Rasulullah mengharamkan pada perang Khaibar daging keledai jinak dan nikah mut’ah.

Bagaimana perawinya? Kita lihat bersama dari literatur syiah sendiri:
Muhammad bin Yahya : dia adalah tsiqah, An Najasyi mengatakan dalam kitabnya [no 946] : guru mazhab kami di jamannya, dia adalah tsiqah [terpercaya]

Abu Ja’far , Tsiqah [terpercaya] lihat Al Mufid min Mu’jam Rijalil Hadits

Abul Jauza’, namanya adalah Munabbih bin Abdullah At Taimi , haditsnya Shahih lihat Al Mufid min Mu’jam Rijalil Hadits

Husein bin Alwan, Tsiqah [terpercaya], lihat Faiqul Maqal, Khatimatul Mustadrak, dan Al Mufid min Mu’jam Rijalul Hadits.
Amr bin Khalid Al Wasithi: Tsiqah, lihat Mu’jam Rijalil Hadits, Mustadrakat Ilmi Rijalil Hadits.

Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, salah satu ahlul bait Nabi, jelas tsiqah.

Di sini Ali mendengar sendiri sabda Nabi dan menyampaikannya pada umat. Menghadapi riwayat ini mungkin kita bingung, ternyata bukan anda saja yang bingung, saya pun ikut kebingungan karena dua hal:

Pertama, bagaimana ulama syiah dan ustadz syiah tidak menyampaikan hal ini pada umatnya? Hingga umatnya dengan suka ria melakukan mut’ah yang memang mengasyikkan. Kita mempertanyakan apakah mereka tidak membaca riwayat ini? Ataukah mereka membacanya tetapi tidak menjelaskan pada umat tentang kenyataan ini? Atau kenyataan ini tidak sesuai dengan kepentingan mereka, karena tidak dipungkiri lagi bahwa bolehnya nikah mut’ah membuka kesempatan bagi syiah guna menghilangkan kebosanan dan menambah variasi dalam hubungan seksual. Ketika orang hanya berhubungan dengan istrinya, maka bukan tidak mungkin suami bosan dengan istrinya, dan dengan mut’ah suami bisa mencari variasi dengan pasangan yang berbeda, baik dengan daun-daun muda, maupun janda-janda muda yang kesepian. Dan hubungan ini tidak mengakibatkan konsekuensi apa pun, kecuali kesepakatan tentang uang jasa dan jangka waktu mut’ah. Bisakan kita percaya para ustadz syiah dan santri-santri muda syiah belum membaca riwayat ini?

saya teringat ayat Al Qur'an, yang terjemahnya sebagai berikut:

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat mela'nati, (QS. 2:159)

Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. 2:160)

Kedua, ketika para ulama syiah menghadapi hadits shahih dari Nabi maupun imam yang tidak sesuai dengan mazhab syiah, mereka mengatakan bahwa Nabi atau imam mengatakan hadits itu dalam kondisi taqiyah, artinya yang disabdakan tidaklah benar adanya. Misalnya hadits ini, ketika ulama syiah tidak mampu menolak hadits ini karena sanadnya yang shahih, maka mereka mengatakan bahwa hadits ini disabdakan dalam kondisi taqiyah. Maksudnya adalah Nabi sebenarnya tidak mensabdakan hadits ini tetapi Ali bertaqiyah hingga menyebutkan hadits ini.


Al Hurr Al Amili dalam Wasa’il menyatakan:

“Syaikh [At Thusi] dan [ulama] lainnya menafsirkan riwayat ini sebagai taqiyyah, karena bolehnya nikah mut’ah adalah perkara aksiomatis dalam mazhab syiah”

Kita perlu mempertanyakan mengapa sabda Ali tidak sesuai dengan ajaran syiah, itu dianggap sebagai taqiyah. Tetapi kita ketahui bahwa taqiyah tidak mungkin dilakukan tanpa sebab, yaitu ketakutan. Lalu apa yang Imam Ali takutkan hingga bertaqiyah dalam masalah ini? Apakah kita mempertanyakan kembali sifat pemberani Ali bin Abi Thalib karena di sini digambarkan takut untuk menyampaikan kebenaran?

Juga kita mempertanyakan sumber informasi Syaikh At Thusi dan ulama syiah lainnya hingga mereka tahu bahwa imam Ali bertaqiyah ketika meriwayatan sabda Nabi itu. Jika tidak ada informasi yang valid apakah kita mengatakan bahwa ulama syiah hanya mengira-ngira saja, tanpa berdasari informasi yang valid. Hanya dengan satu alasan, yaitu menyelisihi hal yang aksiomatis dalam mazhab lalu begitu saja sabda imam bisa divonis taqiyah.

Satu lagi konsekuensi berat bagi ulama syiah yang menyatakan bahwa Ali bertaqiyah dalam hadits itu, berarti Ali mengarang-ngarang hadits Nabi SAWW padahal Nabi SAWW tidak pernah mengucapkannya. Karena pernyataan Ali di atas adalah riwayat,bukan pendapat Ali sendiri, tapi menceritakan sabda Nabi SAWW. Perbuatan ini dikenal dalam istilah hadits dengan “berdusta atas nama Nabi”. Sedangkan perbuatan berdusta atas nama Nabi adalah perbuatan dosa besar, Kitab Tafsir Surat Al Hamd karya Muhammad Baqir Al Hakim –ulama syiah Irak- pada hal. 40 memuat sebuah riwayat yang panjang dari Ali, yang dinukil dari Wasa’ilu Syi’ah –karya Al Hurr Al Amili-, dalam riwayat itu Ali menukil sabda Nabi:


siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja hendaknya menyiapkan tempatnya di neraka.

Hadits ini juga dinukil oleh As Shaduq dalam Al I’tiqadat hal 119-120, juga tercantum dalam Al Ihtijaj jilid 1 hal 394.
Apakah Ali mengarang hadits Nabi SAWW hingga harus bersiap-siap masuk neraka? Atau Ali mendengar sabda Nabi dan menyampaikannya sesuai yang didengarnya? Saya tidak percaya Ali berdusta atas nama Nabi SAWW, juga mestinya syiah –yang percaya Ali adalah maksum- tidak percaya bahwa Ali telah berdusta.

Maka jelaslah Ali mengikuti sabda Nabi SAWW, bahwa nikah mut’ah adalah haram dilakukan saat ini, meskipun pernah dihalalkan oleh Nabi dalam beberapa kondisi, yaitu dalam kondisi perang. Tetapi syiah saat ini menghalalkan mut’ah dalam segala kondisi, tidak hanya ketika kondisi perang. Ini bedanya nikah mut’ah yang pernah dibolehkan pada jaman Nabi SAWW dan mut’ah yang menjadi sebuah aksioma dalam mazhab syiah hari ini.

Dengan ini muncul keraguan dan pertanyaan tentang hubungan mazhab syi’ah hari ini dengan Ali bin Abi Thalib. Rupanya memang tidak semua omongan orang sesuai dengan kenyataan. COntohnya syiah yang selalu mengaku mengikuti Ali, tetapi kenyataannya sungguh berbeda. Ternyata hal aksiomatis dalam mazhab syiah berbeda dengan ajaran Ali bin Abi Thalib/

Saya ingatkan para pembaca tentang kenikmatan sorga beserta bidadari-bidadari yang menyambut penghuninya, beserta isteri-isteri sorga. Tentunya kenikmatan “jannah” lebih menggairahkan dibanding kenikmatan dunia. Allah berfirman dalam surat Yasin yang terjemahnya sebagai berikut:


Sesungguhnya penghuni jannah pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka). (QS. 36:55)
Mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertekan di atas dipan-dipan. (QS. 36:56)

Ayat di atas menceritakan penghuni sorga bersenang-senang dalam kesibukan bersama isteri mereka. Kira-kira apa kesibukan penghuni sorga hingga membuat mereka gembira, yang dilakukan bersama istri di atas dipan? Pembaca pasti tahu jawabnya!

Satu Interview Dengan Ulamak Sunni di Iran

Saya jumpa website yang menceritakan situasi sebenar Sunni di Iran. Semoga Ia dapat meluaskan ufuk pemikiran dan kefahaman kita.

Our Reality

The Dismal Reality of Ahl-us Sunnah in Iran
[This article was published in the 24th issue of Nida'ul Islam magazine (http://www.islam.org.au), July - August 1998]
Chairman of the Ahlus Sunnah Association in Iran,
Dr. Abdul-Rahman Mollazadeh Al-Baloushy Uncovers
Dr. Abdur-rahim Abu Muntasir Al-Baloushi Mollahzadeh
Brief introduction of the Sheikh
Sheikh Abdul Rahman al-Baluchy completed his secondary education in Iran, after which he was admitted to the Islamic University of al-Madeenah al-Munawarah in 1979 where he studied Arabic before joining the Usuluddin (Principles of Faith) and Da’wah college. He reached his second year of studies before the policy to expel Iranian students was implemented. He went to Syria to complete his Shari’ah studies at Damascus university, where he graduated in 1984. He also studied under the scholars of Damascus, such as Sheikh Abdul Qadir al-Arna`out and others. Upon graduation, he enrolled for his Masters degree at al-Awza’y college in Beirut where he graduated in 1989. His thesis was on the Baluchi people and Baluchistan. He enrolled for his Ph.D. at the same college and graduated in 1995. His Ph.D. thesis was on “The Transformation of Islamic Thought in Iran from Sunni to Shi’ah during the Safawi Rule”. This same topic was not accepted for his Masters Degree owing to certain political reasons.
He currently directs the Ahlus Sunnah Association in Iran, London Office.
Is there a single capital city in the world without a Sunni mosque, with the exception to Tehran -the capital of the Shi’ah-, which has forty Christian churches and a cemetery for the Baha’is
Whilst we are living in the twentieth century, we find a third of the population of a nation deprived of their most basic rights. Is there any other country on the face of the earth which prevents its people from choosing names like Umar, Aa’ishah, Hafsah, Abu Bakr, Zubair….
There is no Sunni director in any of the government authorities, ministries, embassies, or local and provincial governments, hospitals or principalities; not even in the lowest government posts anywhere in Iran.
The double-faced regime was able, through raising the banner of Islamic unity, to fool many Muslims outside Iran as they ask them to attend their conferences, and transform their way of thinking within a short period of time
Would you kindly give us a glimpse of the history of Ahlus Sunnah in Iran, the main areas where they are concentrated and their numbers?
It is an established fact that Iran was a Sunni nation until the Tenth Century of the Hijri calendar. During this period, Iran produced thousands of scholars in every discipline; the most salient of these facts is that the six most authentic Ahaadeeth books (ie. Bukhaaree, Muslim, Abu Dawood, etc.) were written by scholars from Iran, or scholars who received their education in Iran. However, when the Safawid Shi’ites took control, they established their government on the skulls of the Sunni scholars and jurists. This was one of the reasons for the evacuation of the largest cities that were at the foremost centers of religious sciences, such as Tibriz, Isfahan, Ray, and Tus. There were many Sunni Muslims who were killed, forced into Shi’ism, or compelled to flee to the mountains, leaving Iran as a center for conspiracies against Islam and the Muslims. Fredinand, the ambassador to the Austrian King, remarked: “Had it not been for the Safawids in Iran, we would have been reading the Qur’an this day like the Algerians,” meaning that his nation would have been conquered by the Ottoman Muslims. However, the Safawids conspired with the crusaders and the imperialists to halt the Islamic expansion into France and Vienna.
The Sunni Muslims in Iran number about 10to 15 million, living mainly in the border regions. They are mainly Kurds, Turks, Baluchis, a minority of Arabs are Sunnis, as are small communities of Persians in southern Iran (Persian Gulf) and Khorasan.. There is also a good number living in the cities.
How was the condition of Ahlus Sunnah before the revolution, did they participate in it, and how and what was their reward from this participation?
The Shah regime was secular, non-religious, so it dealt with religions and sects in a similar way. Some of the Ahlus Sunnah scholars have opposed the Shah and his secular regime, and some of these scholars initially sympathised with the Khomeini revolution such as Sheikh Ahmad Mufti Zadah as well as a few others, may Allah forgive them. Sheikh Ahmad Mufti Zadah opposed Khomeini shortly after the revolution. He was arrested and imprisoned for 10 years, even though his sentence was only for five years. He was only released when the authorities felt that he was on the brink of death. I was a witness to the words of Ahmad Mufti Zadah to Khomeini in the latter’s house where he said: “Khomeini, you promised me an Islamic republic, however you established a Safawi-Shi’ite republic. Although I believe that I am not permitted to raise arms against you [such was his belief, unfortunately], however, I will fight you politically.”
This occurred during the same meeting where my brother Mawlawi Abdul Aziz, may Allah have mercy on him, the representative for Baluchistan in the Authoritative Council, opposed clause 13 of the Iranian constitution, and then resigned from the Council. He later formed, along with Sheikh Zadah, the centralised Consultative Council of Ahlus Sunnah, and held two annual meetings, one in Tehran and one in Baluchistan. Mawlawi Abdul Aziz was also able to obtain a promised allocation of 10,000 square meters of land in Tehran to build a mosque and a centre for Ahlus Sunnah. This promise was given due to internal and external pressures, when the regime was still weak and developing.
This promise, however, was blatantly dishonoured as soon as the regime became stronger. The land allocated for constructing the mosque was confiscated, as well as the offices and bank accounts of the Consultative Council, whose scholars, members and supporters -both men and women- were detained.
The regime continued in its efforts to destroy the infrastructure of Ahlus Sunnah, spreading between their ranks deviations, innovations and acts of Shirk. They unashamedly told the imprisoned students of Sheikh Zadah: “We hoped that you would have taken up arms against us, so we could have had an excuse to uproot you, as we did with the other parties.”
The regime then persecuted any person who dared to call for their rights, and punished them with imprisonment or execut, or degrading their character, as was the case with the martyr Bahman Shakoury. Many Sheikhs were imprisoned, exiled, tortured and humiliated, such as the Baluchistan parliamentarian member Mawlawi Nathar Mohammad who was subjected to sever torture and made false confessions under duress, until he escaped and was able to flee to Pakistan. He was not able to get a visa to enter any of the Gulf countries, not even as a labourer. Sheikh Mawlawi Muhyiddin and Sheikh Dost Mohammed Sirawani were also imprisoned, then exiled to the city of Najaf Abad, as well as many other Sheikhs. There is also Sheikh Ibrahim Dammini who continues to be imprisoned and put to torture for more than five years.
Ahlus Sunnah were rewarded under the current sectarian government with a life of dishonor and subjugation, and their situation is far worse -as I have experienced myself- than that of the Muslims in occupied Palestine. Is there a single capital city in the world without a Sunni mosque ? As an example of discrimination. In Tehran -the capital of the Shi’ah-, which has forty Christian churches, synagogues, Zoroastrian temples and a cemetery for the Baha’is there is not a single Sunni mosque despite over a million Sunni inhabitants. In all, even the infidel minorities have their temples and places of worship and their freedom of worship, yet Ahlus Sunnah are not allowed to build any mosque or cemetery.
The regime planted the seeds of conflict amongst the scholars of Ahlus Sunnah, and strove to deride the character of the notable scholars, replacing them with government servants.
It then instigated internal conflicts between the scholars, the leaders of the community, and the intellectuals to create an environment filled with distrust and insecurity. They also used some of the ignorant people who adhere to supposedly Sunni Tariqats (orders), to attack the scholars of Ahlus Sunnah, especially Sheikh Ahmad Mufti Zadah, labeling him as a Wahhabi, although the Sheikh did not adhere to the Salafi creed. (on the contrary he was a known Sufi yet this typical Shia habit proves beyond doubt that for them the term “Wahhabi/Nasibi” is for any Muslim who has realised what Shi’ism is all about (i.e. Shirk and hatred of Islam) and wants to expose it.
The regime then aimed at Ahlus Sunnah schools, and tried to influence their curriculums to incorporate Shi’ateachings, labeling anyone who refuses to do so as a Wahhabi, a “crime” punishable by death in Iran! Add to this that many school principles were initially anti-Salafi, which resulted with many pupils being suspended, expelled, and beaten for merely raising their hands in their prayer, or for defending Sheikhul-Islam Ibn Taymiyyah, or Abul ‘Ala al-Maududi.
However, the double-faced regime was able, through raising the banner of Islamic unity, to fool many Muslims outside Iran as they ask them to attend their conferences, and transform their way of thinking within a short period of time. They became false witnesses within their own people, beguiling them with what they have been taught about the greatness of Islamic unity, without knowing anything about the plight of Ahlus Sunnah inside Iran. They repeat in all simplicity: “we are brothers, there is no difference between us.” Despite the imprisonment of the scholars and the demolished Islamic schools, they go to the grave of Khomeini, which has become a worshipped idol, offering their worship, and placing flowers at this grave. Their stance has misled many young minds and opened the way for them to accept or tolerate Shi’ism. A person is further baffled when he realises the superficiality of these people, their oblivion to the reality and their inability to comprehend the situation. They keep on defending the Rawafidh Shi’ah who are weaving conspiracy after conspiracy against Ahlus Sunnah.
Can you elaborate on the current condition of Ahlus Sunnah in Iran?
Currently, after two decades of the Shiite revolution and the fortification of their rule, they have not secured the rights of the Sunni minority, nor their covenants with them. They began by imprisoning the scholars and the Muslim activists, exiling some, and executing others. They also started to expel Sunni Muslims from government, commerce, and manufacturing posts, and to destroy their infrastructure. I still recall what the Iranian secret service said vengefully to some of the imprisoned Muslim activists: “You are like the large room with large spotlights (the more eminent scholars) and smaller lights (the general scholars), and candles (the general activists); we will first extinguish the large spotlights.” This stage has been accomplished as they have killed most of the prominent scholars. “Then we will extinguish the smaller lights”; in this respect many activists have been killed and many others exiled. “Then we will turn the fan to put out the candles.” This is an indication of the final stage of forcing people into Shi’ism against their will.
As you can see, the tragedy of Ahlus Sunnah in Iran is unlike any tragedy in the world, considering the nature of the race problem, the falsification of news by the Iranian official press, Government cronies, and the positions of many Muslim movements and activists on the outside who are siding with Iran. Although Muslim minorities everywhere are facing calamities and catastrophes on a large scale, the situation in Iran is further exacerbated under the government of Taqiyya (deceit), lies and hypocrisy, in the name “‘unifying’ the different sects”. Yet it simultaneously slaughters the Sunni scholars and casts their dissected and mutilated corpses into the streets and the garbage dumps. Whereas the plight of Muslims is broadcasted internationally, no TV station or newspaper dares to highlight the case of Sunnis in Iran. Ahlus Sunnah are deprived of their basic civil, social, and human rights, not to mention the right of political participation and equality with the Shi’ah. The erection of a Sunni school or mosque in Iran is regarded as an unpardonable crime. Many Sunni Muslims, who supported such projects (even if it were in the past), were imprisoned, killed, or had their beard shaved for merely contributing to the building of a mosque or to any simple activity relating to Ahlus Sunnah. There are also hundreds of periodical prisoners and many killed purely on suspicion. The following are only some of the names of the prominent scholars who have been kidnapped, poisoned, or killed:
1. Bahman Shakoury was amongst the prominent scholars of his area, Tonalis, and was active in Da’wah within intellectuals. He was arrested and convicted with Wahhabism and executed in 1986.
2. Sheikh Mawlawi Abdul Aziz was one of the elite leaders of Ahlus Sunnah who played a prominent role in opposing the Constitution in matters relating to Ahlus Sunnah rights. He was the director of the religious school of Zahdan and the chief of Baluchi armed tribes. He was poisoned in 1987.
3. Sheikh Abdul Wahhab Khafi played a notable role in exposing the calamities of Ahlus Sunnah outside Iran, especially in Pakistan. He was killed in 1990 under torture after being accused with Wahhabism.
4. Sheikh Nasser Sobhani was one of the leaders of Sunnah in Kurdistan who conducted many educational courses. He was arrested after refuting the false accusations of kufr directed at Umar (r.a.) by Khomeini in his famous book ‘al-Hukumah al-Islamiah’ (The Islamic Government). He was killed in 1992 in prison and his relatives were denied from witnessing his funeral and the prayer.
5. Dr. Ali Muzhaffaryan was amongst the eminent intellectual Shi’ites who was a cardiac surgeon and the head of Shiraaz Committee of Physicians. He embraced the school of Ahlus Sunnah wa al-Jamma’ah and then converted his house to a mosque because the government of Shiraaz did not permit the establishment of mosques. He was arrested and convicted with Wahhabism and American treachery and tortured severely when many Shi’ite youth followed him into Sunnism. He was later released only to be assassinated in 1992.
6. Moreover, the following are some of Ahlus Sunnah’s mosques and Islamic schools that were destroyed:
7. Al-Sunnah mosque in Ahwaz. The first Sunni mosque to be confiscated before twar with Iraq. It was transformed to a security police centre.
8. South of Tehran. The second Sunni mosque to be confiscated was in 1982.
9. Tareeth Ham mosque. This mosque is in the state of Kharasan. It was transformed to a centre for the revolutionary guard.
10. School and mosque of Lakour. It is situated near the city of Jabahar in Baluchistan state. The government demolished the mosque and the school in 1987 under the accusation that it was a center for Wahhabis.
11. Al-Sunnah mosque in Shiraz. Confiscated after the murder of Dr. Muzaffar Ban who founded it, and transformed to a centre for selling video and audio tapes produced by the revolutionary guard.
12. Sheikh Faydh mosque. This is an ancient Sunnah mosque in Mashhad, one of the main Shi’ah centres of the world. The government could not tolerate the continued existence of this mosque in the city, so it demolished it in 1993, under the supervision of the revolutionary guard, who also demolished adjoining centres which were used as guest houses and Qur’ân memorisation centres. The demolition orders came from Khameni personally, the present spiritual leader of Iran. What is amazing is the fact that the demolition of this mosque occurred immediately after the government- sponsored demonstrations against the demolition of the Babari Mosque in India by the Hindus.
13. Ahlus Sunnah School, Talish. The government confiscated the Ahlus Sunnah school at Talish -North-West of Iran. Sheikh Quraishy, the principal of the school was also arrested and alleged confessions were obtained from him under torture.
14. Aaban mosque Mashhad city. They confiscated the land, demolished the walls, and expelled the trustee.
15. Repair of roads. They also repair the roads from time to time, eg. in the city of Zahdan, in order to demolish Sunnah houses, mosques and schools in the name of alleged reconstruction.
What in reality is the representation of Ahlus Sunnah in the various government posts in Iran such as parliament, ministries, etc?
This is an important question. Ahlus Sunnah, who compose approximately one third of the Iranian population, have in all honesty no representation at all. In fact, the situation has reached a stage of oppression and deprivation where Ahlus Sunnah no longer contest these posts and are satisfied with looking to satiate their food needs withoubeing prosecuted. There is no Sunni director in any of the government authorities, ministries, embassies, or local and provincial governments, hospitals or principalities; not even in the lowest government posts anywhere in Iran. There are some Sunni parliamentarians just like in most Middle Eastern countries, however, these are token positions so that the common people can be fooled. Before a person’s political nomination is accepted in Iran, he must be approved, by law, by the security agencies which naturally reject any Sunni activist, even if this person was to somehow attempt to appease them. These agencies employ the lowest form of people, and the most vile. This means that even if someone was elected by the people, the council has the right to ostracise him from Government. So of what use is such a parliament, especially with respect to the Sunni parliamentarian who does not have a party to protect him? Even if he obtained such a post, what could he possibly offer his people? The whole council therefore has no practical value. This is supported by Khomeini’s address to Mawlawi Abdul Aziz after the Iranian revolution: “We do not have a shura process, the principle with us is that the Imam rules, and imitators follow suit. We took the idea of a council from your creed, for this reason, you will not find any value placed on a council.” This is a great shame. Whilst we are living in the twentieth century, we find a third of the population of a nation deprived of their most basic rights. Is there any other country on the face of the earth which prevents its people from choosing names like Umar, A’ishah, Hafsah, Abu Bakr, Zubair, or most of the names of the companions amongst the ten foretold of Paradise?
Do Ahlus Sunnah have an organized movement? What is the extent of its popularity? And how are Ahlus Sunnah facing the present situation?
Ahlus Sunnah had organized movements at the outset of the revolution, when parties were still present. However, when the government became stronger, they prohibited all the Salafi groups. The danger of the Sunni groups was obvious, amongst these was the central shura council for Ahlus Sunnah, the Kurdistan movement for equal rights, the Union of Muslims in Baluchistan, the Majdia. movement in Zahran, and others. The funds of these groups were confiscated and presently, there are no openly organised Sunni groups. In fact, the Sunnis in Iran are deprived of rights which are freely given even to the disbelievers, such as charities to care for the orphans and the widows and others.
As for dealing with the present situation, we are currently only able to offer patience and to take one blow after another. They are like the orphans – they do not have a government to defend them or to dare to mention their plight except on special occasions. They do not have a Sunni group outside of Iran to sponsor them apart from what we initiated a few years ago here (in London).
Do you expect any change in the policies of the present government towards Ahlus Sunnah after the election of Khatemy?
There is a minor change in the policy of the government towards us. Khatamy is not blood thirsty and does not like the shedding of blood nor the stealing of our money as did Khamenei and Rafsanjany. Khatamy has changed many of the blood thirsty officials in the Sunni areas with other Shi’ah who are not as blood thirsty. However, he was not brave enough to appoint one Sunni official. Had Khatamy taken this opportunity, the tyranny and oppression would be reduced dramatically, however, I do not think that he intends or is able to bring equality between Sunni and the others. I have sent an open letter to him in this respect.
What is the policy of Ahlus Sunnah for their future dealings with this situation? Does the declaration of the Afghan Islamic Emirate have any effect on the internal situation?
Our policy with this bitter reality is to be patient and abstain from armed conflict. We do not wish to repeat the experiment in Hama, Halab, Tripoli and others which were very bitter experiments. Particularly as we know that there is no government, or even an organisation which dares to or intends to support or sponsor us.
Yes, the existence of a Sunni Muslim government in Afghanistan will have a definite effect on us. This is why we are witnessing every effort from Iran to halt the establishment of an Islamic government in Afghanistan. The minister for Iranian foreign affairs declared a number of years before: “We will never permit the establishment of a Wahhabi government in Afghanistan”. In the view of these devils, any Sunni government is a Wahhabi government. In summary, the existence of any Sunni government is in our interest. It is notable to bear in mind that the Shi’ah/Safawi State which existed during the Ottoman rule fell at the hands of the Afghan Sunnis.
Is there a message to other Sunni Muslims throughout the world from their brothers in Iran?
We see ourselves as creedal and intellectual extensions of our brothers. What we are facing today is a direct result of our affiliation to the Ahlus Sunnah creed and for no other reason. It is the responsibility of the Muslims in every organisation as groups and as individuals to be concerned over their religion and their faith. We know the reason for the backdown of the authorities and the governments, however, what excuse could there be for the charities, wealthy Muslims, Islamic organizations, and groups? They do not have an excuse before Allah.
I have hope that our Muslim brothers will not just look at us through the policies of their groups and parties, but to look at us through Islam as the martyr Sheikh Abdullah Azzam looked at the Afghani cause.
I also have a parting word for those who share our creed who visit Iran regularly. We hardly find any of them any concern towards their religion and the people of their creed. I advise these people to be conscious of Allah and have some concern for their creed and those who subscribe to the same creed. Their visits are proof against us and cause us harm and lead to the murder of many of our members. They are like puppets in the hands of the political regime, they say to us: “Here are your Imams, your scholars and Sheikhs, they are praying behind us, visiting the grave of the Imam, and do not ask for a separate mosque for themselves in Tehran, they say we pray all together in one mosque, so why do you differ with your scholars? You must be Wahhabi!”
Finally we thank Nida’ul Islam magazine for their attention and concern with our plight, we pray for their success.

First professional PERSIAN SUNNAH Movie about the deception of the Rafidites [SPREAD THE WORD!]

The first professionally produced movie of the Ahl Al-Sunnah of Iran. The brothers from IslamTape.com and other major Sunnah Iranian websites present a stunning movie with the title: وهابیت، شعاری برای مخالفت با قرآن و سنت “Wahhabism – A slogan to disagree [fight] Qur’an and Sunnah”

The movie is about the fear and deception of the Rafidite Savafid (twelver Shi’ism) propagator i.e. “Ayatollahs”, how the Iranian government extremely focused on the issue of “Wahhabism” and how in fact they fight all the people of the Sunnah (first by attacking their creed) and particullary the Sunnah people of Iran under the pretext of “Wahhabism”! Who ever disagrees with them is labelled a “Wahhabi”, no matter if he is a staunch Madhab follower or even Sufi! The movie also reveals the contradictions of some of the stooges and puppets of the Safavid NON-Islamic regime of Iran (like Isam al-Imad who got refuted and exposed badly) and of course the true face of the Rafidite priesthood within Iran who curse and slander not only the beliefs of the Sunnah Iranian people and the Ahl Al-Sunnah in general but also the Sunnah Iranians within Iran. The movie is in Farsi and we urge you to spread the word, pass it to every persian speaking Muslim you know even opend minded Shi’ites who fell into the trap of those CLAIMANTS of Ahl Al-Bait.

DOWNLOADS:


High Quality (flv) 388 mb

Mediumt (flv) 198 mb

Mobile Phone (3gp) 70 mb

بسم الله و الحمدلله و الصلاة و السلام علی رسول الله و علی آله و صحبه و من والاه.. اما بعد.

CARA BINA MINDA GENIUS KREATIF

strategi kejayaan

Emotional Intelligence

Brain Power


PRoduk Kesihatan Diadukan Dgn Ayat Al-Quran

JUM-P rawat masalah hati


ABDUL MALEK menunjukkan produk keluaran syarikatnya.


DALAM mengharungi era pemodenan hari ini, masih terdapat permasalahan yang sukar dirungkai dengan akal fikiran manusia. Ramai yang sukar membayangkan kaedah rawatan masalah yang tiada kaitan jasmani seperti sihir, saka, santau, histeria dan jin.

Menyedari keperluan itu, Pusat Rawatan Terapi Al-Quran Darul Hikmah (Darul Hikmah) memperkenalkan rangkaian produk kesihatan diri JUM-P yang mampu memulihkan pelbagai penyakit rohani dan jasmani.

Pengarah Urusannya, Abdul Malek Ladzim Al-Azhari berkata, rangkaian JUM-P Terapi Al-Quran itu terdiri daripada enam produk penyembuhan pucuk pangkal masalah penyakit daripada hati.

"Kesemua produk JUM-P menggunakan formula organik semula jadi dan tidak mengandungi bahan terlarang atau kimia merbahaya yang boleh memberi kesan negatif kepada pengguna.

"Produk berkenaan yang boleh digunakan untuk penggunaan luaran dan dalaman turut diiktiraf Amalan Pengilangan Islam (IMP)," katanya.

Abdul Malek berkata demikian ketika ditemui semasa Program Terapi Al-Quran beramai-ramai yang dihadiri kira-kira 50 peserta di Permata Hijrah, Bangi baru-baru ini.

Beliau menambah, rangkaian JUM-P merupakan produk pertama dikomersialkan khusus membantu masyarakat yang berdepan dengan permasalahan berkaitan dengan jasmani dan rohani.

Katanya, enam produk baru yang diperkenalkan dua bulan lalu ialah e-sihri, s-rab, e-tisal, w-jahi, m-zili dan z-phus.

"Kesemua produk ini mempunyai peranan tersendiri iaitu s-rab membantu permasalahan seperti gangguan tidur yang teruk, sering terkejut daripada tidur, mendapat mimpi ngeri, mimpi binatang, ditindih sesuatu dan lain-lain lagi.

"Bagi produk e-tisal pula ia boleh membantu dalam masalah gangguan sakit kepala berterusan tanpa sebab, sakit rusuk kiri atau kanan, sakit tulang belakang, sering dirasuk, berdebar-debar tanpa sebab dan beberapa lagi simptom lain," ujarnya.

Dalam pada itu, Abdul Malek menjelaskan mengenai produk m-zili pula ia boleh digunakan sekiranya terdapat gangguan di rumah dan pejabat manakala w-jahi pula digunakan apabila mendapat mimpi-mimpi tidak elok.

Katanya, ia juga boleh digunakan apabila hilang seri wajah, wajah kusam tidak bermaya, buta tanpa sebab dan lain-lain lagi.

"Produk terbaik untuk membatalkan atau membuang racun sihir adalah e-sihri. Kita juga mempunyai produk makanan tambahan diperbuat daripada jujuba yang dikenali sebagai z-phus untuk dinikmati pengguna.


MASALAH histeria akibat gangguan entiti yang tidak terlihat dengan mata kasar memerlukan kaedah rawatan alternatif. - Gambar hiasan.


"Selain itu, kami juga ada mengeluarkan cakera padat (CD) ruqyah syariah iaitu himpunan ayat suci al-Quran, zikir dan doa tertentu khusus untuk rawatan pelbagai penyakit rohani serta jasmani," katanya.

Abdul Malek menambah, produk yang melalui proses selama hampir satu tahun untuk dijadikan realiti boleh didapati pada harga RM1,570 satu set.

Katanya, pengguna juga boleh membeli produk-produk berkenaan secara berasingan.

"Produk JUM-P ini dikeluarkan adalah untuk membantu orang ramai yang mengalami pelbagai penyakit rohani dan jasmani dengan kaedah rawatan Terapi Al-Quran.

Kali Ini Ah Long Pula Yang Didera!

Ah long dipukul, diculik peminjam


LIMA tertuduh kes pukul dan culik ah long ketika dihadapkan di Mahkamah Majistret Kulaijaya semalam.


JOHOR BAHRU - Kisah ah long bertindak ganas terhadap peminjam sering didengari namun keadaan sebaliknya berlaku di bandar raya ini pada 5 Julai lalu.

Sepasang suami isteri yang meminjam wang bersama sekumpulan rakannya dikatakan bertindak ganas dengan menculik dan membelasah dua orang ah long.

Lebih teruk, mereka yang menahan kedua-dua lelaki berkenaan selama 24 jam turut meminta wang tebusan sebanyak RM30,000 daripada ahli keluarga ah long tersebut.

Ketua Polis Johor, Datuk Mohd. Mokhtar Mohd. Shariff berkata, dalam kejadian pada pukul 11.15 malam itu, dua lelaki Leow Own Keong, 30, dan Lew Wei Your, 19, dipercayai ah long telah diculik oleh peminjam di kawasan Teluk Danga di sini.

Menurut beliau, selepas membelasah kedua-dua ah long itu, kumpulan suspek telah menghubungi keluarga kedua-dua mangsa terbabit dan meminta wang tebusan bagi membebaskan mereka.

"Keluarga kedua-dua mangsa telah membuat pembayaran sebanyak RM5,000 melalui akaun bank salah seorang suspek manakala baki RM25,000 lagi dibuat secara tunai," katanya pada sidang akhbar di Ibu Pejabat Polis Kontinjen (IPK) Johor di sini semalam.

Mokhtar berkata, selepas pembayaran dibuat, kedua-dua mangsa dibebaskan dan mereka mengalami kecederaan hampir di seluruh bahagian badan dipercayai dipukul.

Sebuah kereta Perodua Myvi milik salah seorang mangsa turut dilarikan.

Polis yang menyiasat laporan keluarga kedua-dua mangsa itu berjaya menahan tujuh suspek termasuk dua wanita berumur antara 16 hingga 42 tahun di sekitar Kota Tinggi antara 15 hingga 17 Julai lalu.

Bagaimanapun, Mokhtar berkata, dua daripada suspek tersebut dibebaskan dengan jaminan polis.

Beliau memberitahu, bersama suspek-suspek itu polis merampas wang tunai berjumlah RM6,500, sebuah kereta Perodua Myvi milik mangsa, enam buah telefon bimbit dan beberapa barangan lain.

Polis masih mencari dua lagi individu iaitu Al Annaz Wahid, 18, yang beralamat di 32, Felda Tenggaroh 2, Jemaluang, Mersing dan Mohd. Hadi Hamdan, 29, beralamat di 199F, Felda Tenggaroh 3, Jemaluang, Mersing bagi membantu siasatan berhubung kejadian tersebut.

Difahamkan pasangan suami isteri itu telah meminjam wang sebanyak RM10,000 daripada dua ah long itu dan merancang untuk menculik kedua-duanya selepas tidak tahan diganggu oleh mereka.

Sementara itu, lima suspek yang masih berada dalam tahanan polis kerana kes itu termasuk seorang wanita warga Filipina dihadapkan ke Mahkamah Majistret Kulaijaya dekat sini semalam.

Kelima-lima tertuduh iaitu Rasman Ahmad, 42, Ismail Jaafar, 39, Wan Karmizi Muhamad, 28, dan Mohamad Awan A. Bakar, 23, dan Aida Jamhalie Samson berhadapan dengan dua pertuduhan menculik Own Keong dan Wei Your pada pukul 11.15 malam, 5 Julai lalu untuk mendapatkan wang tebusan.

20.7.10

Sihat cara orang Korea



KIMCHI dianggap makanan terbaik di dunia kerana memiliki lima elemen penting yang diperlukan oleh tubuh.


Padat dengan jadual seharian, lelaki bertubuh kecil tetapi bertenaga ini tidak lokek berkongsi tiga rahsia untuk memiliki kesihatan yang sejahtera.

“Saya bersenam, mengambil herba ginseng dan makan kimchi hampir setiap hari, itu rahsia kecergasan saya,” ujarnya ketika ditemui Jurnal di pusat rawatannya baru-baru ini.

Muhammad menjelaskan beliau sangat sukakan aktiviti yang mengeluarkan peluh terutama joging.

“Setiap pagi saya akan berjoging selama sejam. Sekiranya hujan, saya tidak menolak untuk keluar bersenam.

“Saya akan berjalan kaki dengan memegang sekaki payung,” katanya.

Ramuan wajib

Mengagumi khasiat ginseng yang dianggap sebagai penyumbang kesihatan dan awet mudanya, Muhammad bagaimanapun mengamalkan rutin mengambil serbuk ginseng secara tidak berlebihan.

“Saya ambil sedikit demi sedikit selang beberapa hari untuk membantu peredaran darah yang lebih baik,” akuinya.

Di Korea, ginseng lebih terkenal sebagai ubat untuk menjaga kesihatan, mencegah penyakit dan meningkatkan sistem imunisasi tubuh.


GINSENG merah ini melalui proses rebus dan pemanasan selama empat.


Terdapat lima negara yang memiliki ginseng iaitu Korea, China, Jepun, Kanada dan Amerika Syarikat namun penghasilan ginseng secara komersial di Korea menjadikan ginseng dari negara tersebut sebagai yang terbaik.

Bahkan, para pengkaji menyifatkan ginseng Korea adalah lebih berkhasiat kerana ia tidak pernah dipalsukan seperti ginseng China.

“Sejak dahulu lagi, budaya masyarakat Korea dan ginseng sangat rapat malah setiap hari rakyat Korea akan mengambil ginseng. Tidak hairanlah, Korea mendapat jolokan ‘Negara Ginseng.’

“Tradisi ini turut diamalkan sehingga hari ini. Bahkan bagi sesetengah orang, ginseng adalah ramuan wajib dalam masakan Korea supaya makanan lebih berkhasiat, contohnya sup ginseng dan telur goreng,” kata Muhammad.

Tambahnya, belum ada kajian yang menyatakan khasiat ginseng sebagai penambahan ghairah seks lelaki.

Sebaliknya amalan mengambil ginseng sama ada dalam bentuk pati, serbuk, teh dan lain-lain bertujuan untuk menjaga kesihatan.

Ajaib

“Dalam satu kajian oleh para doktor antarabangsa, pengambilan ginseng secara konsisten mampu mengurangkan risiko Alzheimer, menangani kencing manis, mengatasi masalah tekanan darah tinggi dan menguatkan sistem imunisasi badan.

“Malah, ginseng juga banyak digunakan untuk meningkatkan daya ketahanan fizikal dan mental, memberi tenaga, menstabilkan fisiologi badan, merendahkan paras kolesterol dan mencegah penyakit kanser,” jelasnya yang mempunyai lebih 50 tahun pengalaman menggunakan ginseng.


Ginseng yang berusia enam tahun sudah boleh dituai dan diproses untuk dijadikan makanan .


Mendapat jolokan ‘Herba Ajaib Dari Timur’, pengkaji Rusia berpendapat tumbuhan yang dianggap sempurna ini boleh menormalkan tekanan di saluran arteri dan berkesan dalam mengubati tekanan darah tinggi mahupun darah rendah.

“Ginseng adalah alternatif terbaik untuk melancarkan peredaran darah sekali gus meneutralkan asid dalam darah,” ujar Muhammad yang merupakan pakar akupuntur dan gingseng bertauliah.

Tidak hanya diambil sebagai makanan kesihatan, pemilik nama saintifik Panax yang bermaksud tubuh manusia itu turut dijadikan sumber kajian di Institut Kajian Universiti Nasional Seoul dan berfungsi sebagai agen penyembuh kanser serta diabetes di Hospital Pusat Kanser Korea.

Selain mengambil herba ginseng, Muhammad turut mengamalkan memakan makanan tradisional Korea iaitu kimchi yang disifatkan makanan terbaik di dunia.

“Saya selalu percaya pada prinsip makan sedikit dan berjoging sejam setiap hari.

“Saya juga memastikan makanan yang diambil perlu memiliki lima elemen penting iaitu manis, masam, masin, pahit dan pedas.

“Sebab itu, rakyat Korea amat menggemari kimchi dan memakannya setiap hari dalam saiz sederhana,” ujarnya yang mengelak untuk mengambil nasi lemak dan roti canai.

19.7.10

Hubungan nusantara dengan Khilafah 2












KISAH SEJARAH YANG DISEMBUNYIKAN......

Dengan kisah cubaan membebaskan 300 orang Jerman tahanan perang kepada orang British, kerana ketaatan Askar Melayu kepada Khilafah Uthmaniyah berlaku pada 15 Februari 1915.
[image]

TUMBANGNYA Khalifah Othmaniah....versi lain...

"Pertarungan orang-orang Yahudi dengan Islam beberapa waktu amat jelas sejak Nabi Muhammad berhijrah ke Yathrib (Madinah) hingga mereka diusir darinya, akhimya dari seluruh Semenanjung Arab setelah mengkhianati janji dan bersikap tidak jujur untuk menghapuskan orang-orang Islam dan orang-orang Arab yang menerima mereka sebagai tetamu sebelum kedatangan Islam.

Pertembungan itu terus berlanjutan berkurun sejak tertubuhnya kerajaan khalifah Islam di Madinah, Damsyik, Baghdad dan Sepanyol. Hinggalah kerajaan khalifah Islam berpecah kepada suRan, amir dan negara-negara kecil sampai kepada tertubuhnya empayar khatifah Islam Othmaniah Turki.



Sejarah penipuan orang-orang Yahudi di pusat pemerintahan khalifah Islam Turki Othmaniah telah bermula sejak pemerintahan Sultan Murad II. Kemudian pemerintahan Sultan Muhammad Al-Fatah (tahun 1481) yang mati diracun oleh tabib Yahudi Jacob Miastro.

Demikian juga pemerintahan Sultan Sulaiman A-Oanuni dan anak-anak cucunya diculik oleh seorang wanita Yahudi Norbato, gundik Sultan Salim II. Komplot orang-orang Yahudi menyusup ke dalam pemerintahan empayar Othmaniah telah berjalan lebih daripada empat kurun hingga berakhir di tangan seorang Yahudi yang berpura~pura menganut agama Islam yang dikenal dengan nama Mustafa Kamal Ataturk, atau Bapa Kemerdekaan Turki." Orang-orang Yahudi telah merancang untuk menghancurkan kerajaan khalifah Islam Othmaniah melalui beberapa golongan seperti berikut :
1. Golongan orang-orang Yahudi Donma yang berpura-pura menganut agama Islam. Setelah mereka diusir dan Sepanyol dan berkumpul di Salanik.

2. Golongan Salib Kristian yang pendendam terhadap agama Islam dan orang-Orang Islam setelah Islam berkembang di Vilna, Austria, khususnya setelah Constantionaple (Istanbul) jatuh ke tangan Muhamad Al-Fatah.

3. Gambaran buruk yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Kristian terhadap pemerintahan khalifah Othmaniah dan orang-orang Islam sebagai ganas dan liar. Ini menyebabkan penjajah-penjajah Barat ingin menguasai bumi negara-negara Islam Sejak. kurun 19 hingga jatuhnya kerajaan khalifah Islam Turki
4. Penubuhan perkumpulan rahsia, khususnya Pertubuhan Freemason.
5. Segolongan Arab Kristian menimbulkan Semangat Kebangsaan Arab bertujuan memisahkan diri dari kekuasaan kerajaan khalifah Islam Turki dan mendirikan negara-negara Arab yang bebas. Semangat ini turut membantu rancangan orang-orang Yahudi memecah belahkan negara-negara Islam.

Tokoh mereka telah diperalatkan dan dijadikan pelopor pembebasan Arab untuk menentang apa yang dinamakan penjajah kerajaan khalifah Islam Othmaniah dengan meniru semangat kebangsaan yang melanda Eropah sepanjang kurun 19.

Orang-orang Yahudi Donmat telah berjaya merancangkan "Turki AI-Fatat" yang dipelopori oleh agennya Madhat Pasya. Dari parti tersebut lahir pula sebuah parti lain yang dinamakan "Ittihad Wattarqi,' meminjamkan cogan kata dari revolusi Perancis: "Kebebasan, Persaudaraan dan Persamaan.

Parti tersebut dipelopori oleh seorang Yahudi dari Pertubuhan Freemason yang bertopeng nama Islam, Mustafa Kamal Ataturk yang merampas kuasa daripada Sultan Abdulhamid II pada tahun 1908. Akhirnya kekuasaan kerajaan telah jatuh ke tangan orang-orang Yahudi Donmat dan ahli-ahli Pertubuhan Freemason yang berpura-pura menganut agama Islam.

Perkumpulan lain yang ditubuhkan oleh orang-orang Yahudi ialah perkumpulan agama "Baktasher" iaitu kumpulan ajaran bari-niah. Pada kenyataannya bersifat sufi yang bertujuan menghapuskan agama Islam. Perkumpulan ini telah meninggalkan kesan buruk kepada kerajaan khalifah Islam Othmaniah, khususnya setelah terlcpasnya negeri AI-Bania dari !ingkungan negara-negara Islam.

Kalau dilihat pada zaman pemcrintahan Sultan Abdulhamid II (1876), akan kelihatan jelas bahawa orang-orang Yahudi Donmat seperti Madhat Pasya, Mustafa Kamal Ataturk dan lain-lainnya, mereka mahukan negara tunduk pada kehendak kuasa Negara-negara Eropah dengan alasan reformasi dan melindungi rakyat yang bukan beragama Islam.

Sultan Abdulhamid tetap bersikap menolak dan menghadapi orang-orang Yahudi Donmat dan Parti Itihad Wattarqi. Baginda menghadapi perasaan tamak kuasa-kuasa Barat untuk menghapuskan negara-negara Islam. Sebaik sahaja baginda memegang kuasa, baginda terus memerangi Pertubuhan Freemason dan menghapuskan agen-agennya daripada orang-orang Yahudi Donmat, khususnya pemimpin Madhat Pasya sebelum muncul pemimpin Mustafa Kamal Ataturk.

Setelah berakhirnya Madhat Pasya tahun 1877, gerakan orang-orang Yahudi Donmat dan Pertubuhan Freemason untuk menghancurkan kerajaan khalifah Islam Othmaniah tidak pernah lemah. Sultan Abdulhamid pernah menerima tekanan Yahudi Antarabangsa melalui sebuah negara Eropah. Baginda ditawarkan kewangan yang besar daripada seorang Yahudi, Teodor Hartizal (tahun 1902) sebagai jasa membenarkan orang-orang Yahudi seluruh dunia berhijrah dan bermastautin di Palestin.

Di samping tawaran-tawaran lain yang lumayan daripada orang-orang Yahudi Donmat melalui paderi Khakham Mushe Litoni dan Emanuel Qurah So. Tetapi tawaran kerakusan dan ketidak senonohan mereka disindir dan dicemuh oleh Sultan Abdulhamid yang menjawab di hadapan mereka: "Kami tidak menjual tanahair dengan wang. Kami mendapat negeri kami dengan pengorbanan darah datuk nenek kami. Kami tidak mungkin melepaskannya seinci pun tanpa kami mengorbankan darah untuknya. Apabila Hartizal dan konco-konconya sedar bahawa Sultan Abdulhamid seorang yang berpendirian tegas, beliau mengarahkan kepada orang-orang Yahudi Donmat dalam Parti Ittihad Wattarqi, Gerakan Kebangsaan Arab yang dipelopori oleh golongan Arfib Kristian, Sultan.dan Gerakan penyokong Kebangsaan. Gerakan tersebut yakni Turki Toraniah telah memainkan sentiment supaya melancarkan peranan besar melancarkan fitnah terhadap sultan.

Antara mereka paling benci terhadap sultan ialah Anwar Jawid, Talat Jamal, Husain Jahid Yaltasyin, Qurah So, Mushe Loi dan Mustafa Kamal Ataturk. Mustafa Kamal Atarturk diberikan perhatian khusus oleh Pertubuhan Fremason. Dia diharapkan untuk menjadi pemimpin Turki masa hadapan. Dia merupakan penghubung antara ahli Pertubuhan Freemason Islam Othmaniah.dengan agen-agen dalam tentera khas kerajaan sebagai askar yang berpengaruh, Mustafa Kamal Ataturk telah membentuk satu barisan teman-teman dari alili Pertubuhan Freemason, orang,orang Yahudi Donmat dan beberapa orang' pegawai tentera yang khianat menunggu kesempatan yang sesuai untuk merampas kuasa.

Apalagi melihat keadaan dalam negeri dilanda pelbagai peristiwa fitnah dan kekacauan serta menyaksikan negeri-negeri jiran dalam peperangan. Tepat pada tahun 1908 satu rampasan kuasa telah berjaya. Pada tahun 1909 Sultan Abduthamid dikurung. Tempatnya diambilalih oleh Sultan Muhamad ke-5 sebagai lambang.

Pada zaman pemerintahannya, orang-orangYahudi Donmat dan golonganahli Pertubuhan Freemason telah menguasai kerajaan malah Pertubuhan Freemason diperluaskan di kalangan pegawai-pegawai tentera. Dengan demikian membuka jalan untuk memisahkan agama dari politik. Kuasa sultan dilucutkan dari sifat-sifat khalifah Islam.

Banyak penjenayah dan tokoh orang-orang Yahudi berbangsa Bulgaria, Arab, Yunani dan Kristian yang bencikan Islam bersatu dengan ahli Pertubuhan Freemason mara ke Istanbul untuk menyingkirkan Sultan Abdulhamid secara muktamad.

Setelah Sultan Abdulhamid disingkirkan, kuasa sepenuhnya berpindah kepada golongan penjenayah ahli Pertubuhan Freemason yang dipelopori oleh Parti Mustafa Kamal Ataturk. Bencana mulai menimpa negara-negara Islam. Revolusi meletus di Balqan dan Albania. Austria merampas kawasan Bost dan HarSt. Orang-orang Islam di seluruh dunia termasuk Nusantara menghadapi kezaliman dan penjajahan dan yang lebih buruk daripada apa yang pernah dihadapi oleh kerajaan khalifah Islam Othmaniah Turki sebelumnya. Libya dijajah Itali, Moroko jatuh ke tangan Perancis, negara-negara Islam dijajah Eropah Barat dan Russia.

Sedang Mustafa Kamal Ataturk, seorang ahli Pertubuhan Freemason tidak berbuat apa-apa, malah gembira melihat apa yang berlaku kepada negara-negara Islam dan orang-orang Islam. Mustafa Kamal Ataturk telah mengisytiharkan Turki sebagai sebuah negara republik dan sekular hasil dari perancangan Pertubuhan Freemason Untuk menghapuskan kerajaan khalifah Islam.

Beliau mulai bertindak melakukan pembunuhan kejam terhadap para ulama yang ikhlas. Semua masjid dan sekolah agama ditutup. Azan masjid dan sembahyang dalam bahasa Arab diharamkan. Rakyat dipaksakan berpakaian secara barat. Wakaf dan pusaka secara Islam dihapuskan. Masjid Sofia dijadikan rnuzium. Perkahwinan dan undang-undang keluarga yang bersumber daripada syariat Islam digantikan dengan undang-undang Barat.

Poligami diharamkan. Lelaki dan Wanita diberikan persamaan hak dalam harta pusaka. Mengenai pendidikan dan kebudayaan: pendidikan Islam di semua sekolah, universiti dan maktab dihapuskan. Pembelajaran AI-Quran kepada kanak-kanak di masjid juga dihapuskan. Huruf tulisan Arab yang digunakan sejak seribu tahun telah digantikan dengan huruf rumi. Apa yang bersifat Arab Islam digalak menghapuskannya.

Apa yang bersifat kebaratan atau keeropahan digalak memperkembangkannya. Pintu negerinya dibuka seluas-luasnya kepada orang-orang Yahudi Eropah memasuki di segenap bidang ekonomi, politik, kebudayaan, pentadbiran, universiti dan pendidikan. Dan inilah diri kita hasilnya pada tahun 2010 dimana otak, jiwa dan raga kita telah dijajah sepenuhnya di dalam ekonomi, politik, kebudayaan, pentadbiran, universiti dan pendidikan sehinggakan walau yahudi masuk kelubang biawak sekalipun pasti kita akan menurutinya. Sekarang Yahudi tidak perlu memerangi umat Islam kerana Umat Islam sendiri yang memerangi Umat Islam. Itulah hakikatnya"

Hubungan Alam Melayu–Turki Merentasi Sejarah


Susunan:
Hasrizal Abdul Jamil
B.A. (Hons.) SHARIA Mutah University, Jordan
Suntingan buku: Islamic Identity And Development: Studies of the Islamic Periphery oleh Mehmet Ozay

PENDAHULUAN
Menulis kembali sejarah dengan disiplin ilmu yang lebih berjiwa Islam adalah tuntutan semasa yang perlu dipenuhi. Seluruh individu manusia akur bahawa pengolahan sejarah itu sebenarnya memainkan peranan yang penting di dalam usaha menentukan hala tuju sebuah tamadun. Sejarah Malaysia adalah di antara lembaran Tarikh yang berhajatkan kepada usaha seperti ini. Setakat ini kita masih belum mampu mengolah sejarah negara kita sehingga ia berpotensi menjadi wadah kebangkitan ummah.

Membahas persoalan bagaimana hubungan Alam Melayu dan Turki itu terbentuk adalah salah satu daripada marhalah penting ke arah yang telah disebutkan sebentar tadi. Kedua-dua alam ini sebenarnya membentuk satu pertiga dari komuniti umat Islam dan sebarang catatan yang membabitkan isu ini mesti diolah dengan disiplin akademik yang sihat.

Di sana terdapat beberapa tulisan yang telah menyentuh tajuk ini sama ada secara langsung atau pun sebaliknya. Mungkin kita boleh meluangkan sedikit masa meneliti tulisan Snouck Hurgronje, Anthony Reid, Za’ba, Mehmet Ozay dan beberapa tulisan lain yang diusahakan oleh pengkaji sejarah Malaysia dan Indonesia. Namun begitu, setakat yang dilihat tulisan-tulisan berkenaan kurang memberikan penekanan terhadap Islam dan peranan yang dimainkannya di dalam isu berkenaan. Ia lebih menjurus ke arah mencatat perjalanan politik tempatan (berdasarkan ideologi penulis itu sendiri) dan ada kalanya bercampur aduk dengan fakta-fakta melampau yang diragui kesahihannya.

Walau bagaimanapun, penulis tidak dapat menjanjikan sesuatu yang baru dan luar biasa menerusi artikel ini kerana beberapa masalah. Antaranya seperti yang biasa dihadapi oleh mereka yang cuba mengkaji sejarah Daulah Othmaniah, kita terpaksa berhadapan dengan sumber-sumber asli berbentu manuskrip, akhbar-akhbar dan karangan yang belum disaring antara yang sahih dan sebaliknya. Keduanya, artikel ini ditulis jauh dari pusat di mana sumber-sumber asli itu boleh dperolehi. Kebanyakan masdar yang berkaitan terdapat di beberapa buah perpustakaan di London, Perpustakaan Kongres di Washington dan pusat terdekat yang sempat dilawati hanyalah Perpustakaan IRCICA di Istana Yildiz, Istanbul. Banyak cacatan adalah berpandukan kepada buku Islamic Identity And Development: Studies of the Islamic Periphery oleh Mehmet Ozay (1992, ISBN 0-415-04386-7). Akan tetapi, dengan berpandukan rujukan oleh beliau, penulis cuba mendapatkan sendiri bahan-bahan berkenaan bagi memperkembangkan lagi tajuk untuk memberikan penekanan kepada aspek-aspek yang kurang disentuh oleh Mehmet Ozay. Oleh yang demikian, penulis berharap agar artikel ini dipandang sebagai pengenalan dan kemudiannya menggalakkan pembaca mengkaji sendiri secara lebih ilmi dan berakademik.

TURKI – MENGENAL PASTI IDENTITINYA

Menentukan siapakah yang dimaksudkan dengan bangsa Turki itu bukanlah satu perkara yang mudah. Namun begitu secara ringkasnya bolehlah kita catatkan seperti berikut:

Bangsa Turki merujuk kepada sekumpulan kaum Nomad yang menghuni Gunung Altai di Utara Mongolia dan dataran Asia Tengah. Mereka bertutur di dalam Bahasa Turki yang berasal dari rumpun Bahasa Ural-Altaic yang menjangkau bilangan lebih daripada 200 juta orang penutur pada hari ini. Bangsa Turki kini boleh dibahagikan kepada dua kumpulan utama iaitu Turki Timur dan Turki Barat[1]. Turki Timur meliputi kaum Turki dan pecahan-pecahannya di China, Asia Tengah, Iran dan bangsa Caucas Rusia. Manakala Turki Barat pula terdiri daripada penduduk Republik Turki hari ini, di Balkan dan sekumpulan kecil penduduk Cyprus.

MENYUSUN AGENDA PERBINCANGAN

Hubungan antara kedua-dua alam ini telah pun bermula semenjak kurun ke 13M. Ia terus berlangsung sehinggalah ke era Perang Dunia Pertama dan seterusnya memainkan peranan yang tersendiri di dalam design politik Malaysia yang akan dibincangkan kemudian[2]. Oleh yang demikian, kita akan membahagikan peringkat kelangsungan hubungan ini kepada tiga marhalah utama iaitu hubungan klasik awal, era Perang Dunia Pertama dan seterusnya zaman berakhirnya Khilafah Othmaniah dan pembentukan Republik Turki oleh Ataturk.

PERINGKAT PERTAMA – HUBUNGAN KLASIK AWAL

Ramai pengkaji sejarah cuba mengemukakan beberapa teori ke arah membuktikan bagaimana Islam itu sampai ke Kepulauan Melayu. Di antara teori yang masyhur adalah Teori Pedagang Arab yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje. Beliau menceritakan bagaimana askar Belanda telah memasuki wilayah Pasai dan menjumpai batu nesan bertulis Arab yang terdiri daripada ayat-ayat Al-Quran dan nama tokoh cendiakawan dari Sumatera Pasai. Antaranya ialah[3]:

i. Nesan Pangeran Abbasiah Abdullah bin Muhammad bin Abd al-Kadir bin Abdul Aziz bin al-Mansur Abu Ja’far al-Abbasi al-Muntasir Billah - Amir al-Mu’minin Khalifah Rabbal ‘Alamin – mangkat Disember 1407.

ii. Mangkat 1408, Ibn as-Sultan Zain al-Abidin bin as-Sultan Ahmad bin as-Sultan Muhammad bin Salih. Beliau merujuk kepada asal usul kewujudan beberapa perkampungan Arab di Indonesia yang membuktikan perkara yang sama.

Namun demikian, teori tersebut tidak mampu memberikan keyakinan yang penuh kepada kita apabila persoalan bagaimana Islam itu tiba, siapakah pendakwah itu, dan seterusnya bagaimana Islam itu mampu kekal, tersebar dan menjadi darah daging masyarakat Kepulauan Melayu khususnya penduduk kawasan persisiran pantai – dibangkitkan. Selepas penguasaan Portugis di Melaka pada tahun 1511, Kristian menemui kegagalan untuk bersaing dengan Islam sedangkan jika kita berpegang kepada teori Snouck Hurgronje tadi, sepatutnya Kristian mampu mengambil tempat Islam bahkan usaha mereka lebih tersusun dan bertanzim. Apatah lagi, kita meyakini bahawa kedatangan Portugis dan Belanda ke Kepulauan Melayu bukanlah semata-mata didorong oleh keinginan mereka menguasai pasaran rempah bahkan lebih daripada itu melangsungkan misi Kristianisasi dan membawa panji Perang Salib ke rantau tersebut[4].

Kajian semasa yang dibuat oleh pengkaji barat menyimpulkan bahawa gerakan Kristianisasi menemui kegagalan kerana mubaligh mereka menggunakan kekerasan dan paksaan sedangkan pendakwah Islam terus beriltizam dengan uslub yang berhemah melalui dakwah dan hubungan sosial yang sihat[5].

Gerakan Dakwah Islamiah di Asia Tenggara mencapai kemuncaknya pada kurun ke-13M. Pengaruh Islam terus menuju ke Kepulauan Melayu dari Benua Kecil India yang pada masa itu berada di bawah pemerintahan Kerajaan Mogul-Turki. Para Masyaikh dan ahli sufi menjadi tenaga penggerak utama membentuk tarikat, bergaul dengan masyarakat tempatan dan berkahwin campur semata-mata untuk menyebarkan Islam sebagai rahmat kepada seluruh alam. Ajaran mereka ini berjaya tampil sebagai suatu misi yang menyokong kemajuan, bertoleransi dan seterusnya ‘mempunyai masa depan yang cerah dan boleh diharapkan’ di kalangan rakyat tempatan. Islam juga berjaya membebaskan masyarakat tempatan daripada perhambaan dan pengexploitasian tenaga manusia yang mana menjadi igauan buruk penduduk Kepulauan Melayu pada masa itu.

Berbalik kepada persoalan utama kita tadi, siapakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan Masyaikh dan ahli sufi itu tadi? Di sana terdapat beberapa bukti yang memahamkan kepada kita tentang penglibatan orang Turki dan seterusnya menjawab persoalan itu tadi. Seorang pengkaji sejarah Perancis pada kurun ke-18 telah menyebut:

Thus this religion (i.e. Islam) which has nothing very disgustful in it, establishing itself by degrees in sundry places, and because yet more powerful when some Moors or Arabians, who were raised to the first employments in the court of Cambaya and Guzerat, drew thither a great number of the Asian Turks, called Rumis, some of whom made themselves masters of some ports, as Melique Az, who made a considerable settlement at Din, where he was long time troublesome to the Portuguese. From the continent they passed to the Molucca Island, where they converted their kinds of Tidor and Ternate to their religion.[6]

Orang Rumi yang disebutkan di dalam petikan di atas adalah orang Turki Othmani. Begitu juga, secara tradisinya, Sultan Othmani dikenali di kalangan penduduk Kepulauan Melayu sebagai Raja Rum[7]. Manakala pada tahun 1511, Melaka telah jatuh ke tangan Portugis. Sepanjang kurun ke-16 dan 17, pemerintah Daulah Othmaniah telah beberapa kali cuba menghantar bantuan ketenteraan tetapi gagal.

Kedudukan Acheh sebagai Serambi Mekah dan tumpuan laluan Selat Melaka menggantikan Melaka telah membawanya kepada penglibatan yang lebih besar dengan kuasa pemerintah di Asia Barat. Sultan Ala’ ad-Din Riwayat Shah al-Kahar (1537-71) telah memulakan langkah secara rasmi memohon bantuan ketenteraan daripada Daulah Othmaniah yang pada masa itu berada di bawah pemerintahan Sultan Sulaiman al-Kanuni. Hal seumpama ini dapat dibuktikan berdasarkan kepada lambang merah Kerajaan Othmaniah yang digunakan oleh Sultan. Begitu juga dengan meriam Lada Setjupak yang berfungsi sebagai pertahanan kepada kubu dalaman kerajaan Acheh yang diberikan oleh pemerintah Othmaniah melalui Dutanya. Acheh juga menawarkan penghormatan tahunan berupa ufti yang biasa diamalkan di dalam politik serantau Kepulauan Melayu tetapi ditolak oleh pemerintah Othmaniah memandakan kedudukan geografi Acheh yang begitu jauh[8].

Hubungan akrab di antara Acheh dan Daulah Othmaniah telah berperanan mempertahankan kemerdekaannya selama lebih 300 tahun. Setiap kali Eropah cuba mengancam Acheh, maka hubungan antara kedua belah pihak itu tadi kembali hangat dan diperbaharui ‘roh dan semangatnya’. Pada tahun 1850, perlindungan Othmani kepada Acheh ini telah disahkan semula di dalam dua Ferman yang dikeluarkan oleh Sultan Abdul Majid. Akan tetapi ia tidak didedahkan kepada umum sebagaimana yang biasa dibuat mengikut disiplin diplomatik kuasa-kuasa Eropah. Perlindungan Othmani kepada Acheh ketika berhadapan dengan serangan Belanda terakam di dalam 65 catatan di Acheh yang kemudiannya sampai kepada catatan wakil Belanda di Istanbul pada tahun 1869. Berita ini mendesak pemerintah Belanda supaya memberikan tumpuan yang lebih serius terhadap segala permasalahan yang timbul khususnya yang membabitkan hubungan Acheh – Othmani[9].

Ekoran daripada itu, pemerintah Acheh telah menghantar wakilnya Abdul Rahman az-Zahir ke Istanbul bagi mendapatkan bantuan Khalifah. Peribadi Abdul Rahman tercatat di dalam media massa Istanbul pada masa itu yang menyifatkan beliau sebagai seorang yang dianugerahkan dengan kecerdikan yang luar biasa dan penampilan minda yang mengagumkan[10]. Beliau telah belayar dari Pulau Pinang ke Istanbul bersama Nyak Abas, seorang pengusaha tanaman lada hitam. Bersama mereka adalah surat Sultan Mahmud sebagai bukti terhadap keakraban hubungan Acheh – Istanbul dan mereka tiba di ibu kota Daulah Othmaniah itu pada 27 April 1873.

Sepanjang tahun 1869 – 1873, masalah Acheh menjadi isu utama di dalam polisi luar Daulah Othmaniah. Midhat Paşa telah menjadikan isu Acheh sebagai modal beliau ke arah memperbaiki imejnya yang terjejas ekoran kegagalan beliau melaksanakan tugas sebagai Menteri Utama di dalam kabinet Istanbul. Pada tahun 1568, Acheh telah melancarkan serangan besar-besaran ke Melaka bersama 20 ribu askar yang mana 400 daripadanya adalah orang Turki tetapi terpaksa akur kepada kekuatan pertahanan Portugis lantas sekali lagi menemui kegagalan[11].

Dalam pada itu, media massa di Istanbul terus memainkan peranan menarik perhatian masyarakat tempatan kepada isu Acheh. Basiret, akhbar harian utama di Istanbul pada ketika itu menyeru supaya armada Othmani dihantar ke Sumatera[12]. Walaupun pada masa tersebut pelbagai ikhtiar secara diplomatik diusahakan oleh pemerintah Othmani, kerajaannya sendiri sudah terlalu lemah untuk menyelamatkan Acheh sebagaimana yang dilakukan pada masa-masa sebelumnya.

Akan tetapi, umat Islam di Indonesia dan di Malaysia terus menaruh harapan agar pemerintah Othmani berusaha membebaskan mereka daripada cengkaman pemerintah Belanda dan Inggeris. Sultan Pahang juga pernah cuba membuat hubungan dengan kerajaan Othmaniah dan tidak setakat itu, terdapat juga beberapa usaha menegakkan pemerintahan Islam di Kelantan dan Patani supaya dapat kemudiannya bernaung di bawah pemerintahan Daulah Othmaniah. Mungkin kita boleh menilai catatan yang dibuat oleh ahli kapal Ertuğul yang diutus oleh kerajaan Othmaniah ke Jepun pada sekitar tahun 1888-89. Melalui Suez mereka telah singgah di beberapa buah pelabuhan seperti Aden, Bombay, Ceylon, Singapura, Saigon dan Hong Kong. Ahli kapal tersebut telah naik ke darat untuk bersolat Jumaat dan apa yang mengejutkan ialah apabila mereka mendapati nama Sultan Abdul Hamid II disebut di dalam doa Khutbah Jumaat[13]. Raja Selangor pada masa itu juga telah menulis surat untuk diserahkan kepada rombongan berkenaan sebagai usaha baginda mendapatkan bantuan daripada Khalifah Othmani tetapi tidak berjaya apabila rombingan tersebut berlepas lebih awal daripada yang dijadualkan.

PERINGKAT KEDUA – DI AMBANG PERANG DUNIA PERTAMA: PAN-ISLAM DI ALAM MELAYU

Sultan Abdul Hamid II
Pan-Islam adalah rencana Sultan Abdul Hamid II yang membingungkan kuasa barat. Snouck Hurgronje menyifatkan kegiatan Pan-Islam ini sebagai tindakan yang berbahaya tetapi sia-sia[14]. Walau bagaimanapun, impian Sultan Abdul Hamid II menyatukan umat Islam di bawah panji-panji Khilafah Othmaniah ini perlu diulas secara terpeinci kerana ia telah membuka lembaran baru kepada hubungan alam Melayu-Turki bagi marhalah kedua.

Pan-Islam terus menjadi sebab yang mendorong kepada kebimbangan kuasa kolonial Inggeris dan Belanda di Kepulauan Melayu. Sebagaimana yang telah disebutkan tadi, Sultan Othmani dihormati secara tradisi di kalangan umat Islam di Kepulauan Melayu. Sultan Abdul Hamid II yang menjadi harapan terakhir umat Islam dianggap sebagai ‘God’s Shadow On Earth’. Baginda memandang bahawa umat Islam tidak akan mampu berhadapan dengan Barat kecuali mereka bersatu di bawah bendera Khilafah. Lantas baginda telah menghantar ribuan duat ke seluruh dunia di mana adanya umat Islam bagi menyampaikan mesej risalah Pan-Islamnya.

Walau bagaimanapun, gerakan Pan-Islam di Timur Tengah sudah banyak ditulis. Akan tetapi kesan dan pengaruh rencana besar ini terhadap umat Islam di Kepulauan Melayu masih kurang mendapat tempat di gelanggang penulisan sejarah masyarakat kita, atau kurang didedahkan kepada pembacaan umum. Di sana terdapat beberapa peristiwa penting yang berlaku di Malaysia dan Indonesia hasil seruan Sultan Abdul Hamid II tetapi kebanyakannya tersimpan tanpa perhatian… atau disembunyikan atas sebab-sebab yang maklum.

Sebagaimana yang tercatat, Konsul Othmani di Jawa, Sadik Bey cuba mempertahankan hak umat Islam yang dizalimi oleh pemerintah Belanda[15]. Begitu juga Duta pemerintah Othmani di Batavia, Muhammad Kamil Bey (1897-99). Beliau telah banyak melancarkan gerakan Pan-Islam Sultan Abdul Hamid II di Kepulauan Melayu dan sebagai natijah yang sesuai dengan gerakan tersebut, beliau telah diusir oleh Belanda kerana mencetuskan kebangkitan umat Islam di rantau berkenaan[16]. Akan tetapi, kegiatannya itu telah berjaya menarik perhatian umum di Istanbul supaya menyedari tentang ketidak adilan penjajahan kuasa Kolonial di Asia Tenggara. Manakala dari sudut yang lain pula, kegiatannya telah menimbulkan sensitiviti orang Melayu terhadap aliran baru pembaharuan dan nasionalisma yang wujud di Timur Tengah. Semenjak tahun 1897, akhbar-akhbar Istanbul seperti Idkam dan Al-Malumat, Thamarat al-Funun di Beirut dan beberapa akhbar di Mesir mengadakan hubungan kewartawanan dengan Batavia dan Singapura. Pelbagai berita disiarkan di akhbar-akhbar berkenaan menceritakan tentang kekejaman Inggeris dan Belanda di rantau tersebut[17].


Senario ini telah menimbulkan kesan yang nyata kepada pemikiran orang Melayu dan kemudiannya mencetuskan marhalah baru di dalam perkembangan ideologi orang Melayu dengan terbentuknya dua haluan yang dikenali sebagai Kaum Tua dan Kaum Muda[18]. Sebuah lagi catatan penting ekoran daripada gerakan Pan-Islam Sultan Abdul Hamid II adalah tercetusnya Dahagi Singapura pada tahun 1915. Sehingga pada hari ini, sebab sebenar yang mencetuskan Dahagi tersebut masih belum didedahkan kepada umum kecuali dengan beberapa andaian yang berhasil semenjak beberapa tahun yang lalu. Ini berikutan daripada polisi Britain sendiri yang merahsiakan perkara tersebut. Dahagi ini sebenarnya bermula ekoran daripada bantahan askar India dan Melayu Muslim daripada dihantar ke Timur Tengah bagi menyertai tentera Arab menentang pemerintahan Khilafah Othmaniah semasa Revolusi Arab 1916.


Cubalah kita renungkan bagaimana kedudukan kita di mata Inggeris. Di manakah munasabahnya untuk kita ini dihantar menyertai Revolusi Arab yang sudah mabuk Asabiah itu (walaupun kita akur dengan kecacatan yang tidak sedikit di dalam pemerintahan Khilafah Othmaniah pada akhir zaman penguasaannya)?[19] Kassim Ali Mansoor adalah individu penting yang memainkan peranan di sebalik Dahagi tersebut.


Beliau mengetuai gerakan menentang tindakan cabul Inggeris itu dan kemudiannya dihukum gantung atas tuduhan memiliki satu salinan surat yang telah dihantar kepada anaknya sebagai utusan peribadi kepada Konsul Kehormat Othmani di Rangoon. Inggeris sememangnya bimbang terhadap potensi natijah yang bakal dicetuskan oleh Dahagi ini sehingga mereka tidak pernah menjelaskan sebab sebenar kepada insiden tersebut[20].

PERINGKAT KETIGA – KEJATUHAN KHILAFAH DAN KEMALISMA

Daulah Othmaniah adalah benteng terakhir umat Islam. Sultan Abdul Hamid II pada era pemerintahannya bersendirian di dalam kabinet berhadapn dengan menteri-menteri yang telah kekenyangan dengan teori-teori Barat. Usaha Pan-Islamnya seakan-akan dipersendakan oleh kaca mata Eropah dan menganggapnya sebagai tindak balas The Sick Man of Europe.

Daya tarikan yang mendorong kepada timbulnya perhatian alam Melayu kepada Turki adalah soal Khilafah. Sultan Othmani umumnya diertikan sebagai simbol kepada penyatuan ummah. Pada bacaan politik ketika itu, kuasa dan pengaruh Kerajaan Othmaniah terus bertambah. Walaupun keadaan Daulah Othmaniah pada ketika itu tidak memungkinkannya untuk berhadapan dengan kuasa penjajahan yang mencengkam masyarakat Muslim di Kepulauan Melayu.

Selepas lebih 600 tahun memakmurkan tiga benua dengan Islam, Daulah Othmaniah akhirnya runtuh oleh pertemuan 1001 sebab yang membawa kepada kemusnahannya. Mustafa Kemal Pasha (yang kemudiannya dikenali sebagai Ataturk – Bapa Turki) telah membubarkan Khilafah secara rasmi di Ankara pada bulan April 1924. Pada masa itu, seluruh dunia melahirkan tindak balas yang berbeza antara satu sama lain. Di Kepulauan Melayu sendiri, kesan Revolusi Ataturk lahir di dalam pelbagai bentuk mengikut bacaan masing-masing.

Secara umumnya umat Islam di Malaysia melahirkan rasa simpati mereka terhadap pembubaran Daulah Othmaniah. Bahkan setiap peristiwa yang berturutan ketika itu mendapat perhatian dan simpati umum masyarakat seperti Perang Turki – Rusia pada tahun 1877, Turki – Greece pada tahun 1897, Perang Balkan, Kempen Itali di Libya, Perang Dunia Pertama dan sebagainya. Akhbar-akhbar tempatan, buku-buku dan makalah tentang Perang Kemerdekaan Turki telah diterbitkan dan dibaca secara meluas[21]. Di antara koleksi manuskrip perpustakaan Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP), terdapat manuskrip sebanyak 7 keping bertajuk “Hikayat Cerita Sultan Istanbul Tatkala Berperang Dengan Radja Moskou”


Mustafa Kemal Ataturk

Kaum Tua di Tanah Melayu menganggap Ataturk sebagai pengkhianat agama.

Walau bagaimanapun kita membaca kesan ini dengan kaca mata yang berbeza. Agak menyedihkan apabila fahaman sekular menutup pertimbangan kebanyakan umat Islam ketika itu. Gerakan menentang penjajahan kuasa luar tidak digerakkan secara sihat dan apa yang berlaku hanyalah kemusnahan roh Islam di kalangan umat Islam yang lupa kepada agamanya.

Sebagaimana yang telah disebutkan sebentar tadi, Revolusi Ataturk telah membungakan semangat nasionalisma di kalangan orang Melayu – Turki. Turutan daripada itu, pada tahun 1946, pengaruh ini telah mendorong kepada pembentukan sebuah ‘parti sekular dan progresif’ yang bersifat ala-Turki iaitu UMNO di bawah kepimpinan Dato’ Onn yang juga berketurunan Turki[24].

Peranan yang dimainkan oleh kepimpinan Dato’ Onn di dalam gerakan nasionalisma Malaya telah membuka satu lagi lembaran baru kepada hubungan Melayu – Turki. Seperti yang kita sedia maklum, Sultan-sultan di Tanah Melayu mempunyai hubungan yang tersendiri dengan Daulah Othmaniah. Akan tetapi, pertalian yang ditunjukkan oleh House of Johore lebih menonjol dan meninggalkan kesan hingga ke hari ini.

Pada pertengahan 1860an, Sultan Abu Bakar dalam rangka lawatannya ke Eropah telah berkesempatan melawat Khalifah di Istanbul. Sebagai tanda ke atas hubungan baik kedua belah pihak, baginda telah dikurniakan dengan seorang Lady in Waiting bernama Rugayyah Hanum, berketurunan Circassian. Sebaik sahaja tiba di Johor, Rugayyah Hanum telah berkahwin dengan Ungku Abdul Majid dan mendapat tiga orang cahaya mata. Salah seorang daripadanya adalah Ungku Abdul Hamid, ayah kepada Ungku Abdul Aziz, bekas Naib Canselor Universiti Malaya.


Selepas kematian Ungku Abdul Majid, Rugayyah Hanum telah berkahwin dengan Dato’ Jaafar, seorang orang kebanyakan dan mendapat anak seramai tujuh orang. Salah seorang daripadanya ialah Dato’ Onn yang mengasaskan UMNO dan anaknya Tun Hussein merupakan Perdana Menteri Malaysia yang ketiga. Selepas daripada itu, Rugayyah Hanum berkahwin pula dengan seorang ahli perniagaan berketurunan Arab Yaman bernama Abdullah al-Attas dan mendapat seorang cahaya mata bernama Ali al-Attas. Beliau pula mempunyai tiga orang anak lelaki dan salah seorang daripada mereka ialah seorang ahli sosiologi yang terkenal bernama Husein al-Attas dan adiknya Naquib al-Attas pula adalah juga seorang tokoh yang terkenal di negara kita[25].

KESIMPULAN

Hubungan Alam Melayu – Turki adalah hubungan klasik yang penuh dengan catatan penting jika kita membalikkan bacaan kepada kedudukan Malaysia di dalam persoalan Khilafah dan pengalaman hidup di dalam pemerintahan Islam. Persepsi bahawa seruan ke arah mengembalikan pemerintahan Islam di Alam Melayu sebagai sesuatu yang janggal dan asing, mesti diperbetulkan. Kita telah mempunyai siri pengalaman yang panjang dan pembinaan masa hadapan tidak boleh mengenepikan aspek penting sejarah ini.

Di sana masih terdapat banyak riwayat yang penting lagi menarik tetapi tidak dicatatkan di sini memandangkan kesahihannya masih belum dapat ditentukan. Sebahagiannya berkisar kepada kebangkitan Islam di penjuru-penjuru Tanah Melayu semasa pemerintahan Inggeris dan sebahagian yang lain pula menyentuh tindak balas masyarakat Timur Tengah khususnya di ibu kota Ummah, Istanbul. Penulis mencadangkan agar pembaca dapat bersama mencari sebanyak mungkin cacatan berharga tersebut. Semoga pendedahan ini memberikan manfaat kepada kita semua.
Tetapi dari sudut yang lain, pemikiran dan ideologinya telah dimanfaatkan oleh segolongan yang lain di Alam Melayu. Ramai pemimpin Malaya dan Indonesia seperti Sukarno telah mengkaji gerakan Kemalisma dan dasar reformasi sekularnya lantas mencorakkan kegiatan politik mereka berdasarkan corak Mustafa Kemal Ataturk[22]. Sepanjang tahun 1920an dan 30an, beberapa buah buku di Malaya telah diterbitkan khusus membicarakan tentang Revolusi Ataturk. ‘Turki dan Mustafa Kemal Ataturk’ menceritakan tentang sejarah gerakan reformasi ini. ‘Turki dan Tamaddunnya’ pula mengkaji gerakan ini secara terpeinci. Terdapat juga buku yang menceritakan dalam bentuk biografi khusus tentang Ataturk seperti ‘Kitab Mustafa Kemal’. Begitu juga dengan akhbar-akhbar dan majalah berkala seperti ‘Idaran Zaman’ dan ‘Saudara’ yang memberikan laporan secara meluas tentang Revolusi Kemalisma tersebut[23].
Hasrizal Abdul Jamil
Universiti Mu’tah, Jordan 1996.
(Artikel ini telah diterbitkan oleh Majalah Suara Kampus Edisi Johor [SUKEJ], Kaherah, Jun 1996).