Mencela dan melecehkan para sahabat dengan penghinaan dan tuduhan ngawur merupakan cara-cara pengikut iblis dan musuh-musuh Islam. Tujuan mereka sebenarnya hanyalah berusaha mencela dan merendahkan para saksi kebenaran islam dan hendak mencela Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan menyatakan beliau memiliki sahabat-sahabat yang jelek dan tidak memilih sahabat yang baik saja. Akhirnya dengan cara ini mereka ingin menghancurkan agama islam dan memadamkan cahayanya. Namun Allah tidak ingin cahaya agamaNya padam, bahkan Allah menyempurnakan cahaya agamaNya walaupun kaum kafir pengikut iblis tidak suka dan marah. Biarlah mereka menghadap Alllah dengan membawa kemarahan dan kedengkiannya.
Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel Abu Hurairah -Radhiallahu’anhu- Teraniaya (bag-1)
Mereka menyatakan:
Karena seringnya ia meriwayatkan hadits, Ummul Mukminin ‘A’isyah dan para sahabat yang utama menuduhnya sebagai berbicara tak keruan (mazzah), berbohong (kadzdzab) dan lain-lain.
Umar mengancam akan memukul dan mengasingkannya apabila ia meriwayatkan hadits. Ia sendiri mengaku tidak berani mengucapkan sebuah hadits di zaman Umar. Ummul Mukminin ‘A’isyah mengatakan bahwa ia tidak pernah mendengar Rasul bercerita seperti yang disampaikan Abu Hurairah. ‘Ali menamakannya pembohong umat. Demikian juga tokoh-tokoh yang terdahulu.[1]
Juga menyatakan: “Hadits-hadits yang disampaikan Abu Hurairah, menurut Abu Muhammad bin Hazm berjumlah 5374 buah. Bila dibandingkan dengan seluruh hadits yang disampaikan oleh keempat Khulafa’ur-Rasyidin, jumlah ini sangat banyak. Abu Bakar, misalnya, menyampaikan 142 hadits (yang dimasukkan dalam Bukhari, 22), ‘Umar 537 hadits (yang dianggap shahih, 50), ‘Utsman 146 (Bukhari memasukkan 9 hadits, Muslim 5), dan ‘Ali 586 hadits (yang diangap shahih 50); semuanya hanya 1411 hadits dan itu berarti Cuma 21 % dari jumlah hadits yang disampaikan Abu Hurairah seorang diri. Dan jumlah ini hampir sama dengan jumlah ayat-ayat Al Qur’an.
Sebagai perbandingan, maka seluruh hadits yang disampaikan Abu Bakar selama 20 tahun pergaulannya dengan Rasul, hanya diperoleh Abu Hurairah dalam 16,7 hari duduk di Shuffah setelah ia menganut Islam, ‘Umar dalam 63,1 hari, ‘Utsman dalam 17,1 hari, ‘Ali dalam 68,9 hari, Tholhah bin ‘Ubaidilah dalam 4,4 hari, Salman al-Farisi dalam 7 hari. Zubair bin al Awaam dalam 1,1 hari, ‘Abdurraohman bin ‘Auf dalam 1 hari. Dan seluruh haditsnya baru diucapkannya hampir 30 tahun sesudah Rasul Allah Shallallaahu ’alaihi wa sallam wafat, sebagaimana pengakuannya, karena sekembalinya dari Bahrain dia tidak diperkenankan mengobral haditsnya.[2]
Tanggapan:
Apakah benar para sahabat utama menuduh Abu Hurairah berdusta? Sebagaimana dituduhkan diatas. Itu semua tidak benar, sebab para sahabat besar seperti Abu Bakar, ‘Umar dan lain-lainnya memberikan pengakuan dan menerima hadits Abu Hurairah[3]. Sedangkan riwayat mereka menuduh Abu Hurairah berdusta diriwayatkan dari Al Nadzam atau Bisyr Al Mirrisi atau Abu Ja’far Al Iskafi yang merupakan musuh besar penentang Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Adapun yang dinisbatkan kepada ‘Umar bahwa beliau mengancam akan memukul dan mengasingkan Abu Hurairah apabila ia meriwayatkan hadits diambil dari kitab lbnu ‘Asakir, bahwa Umar bin Al Khaththab Radhiallahu’anhu berkata kepada Abu Hurairah Radhiallahu’anhu: “Engkau akan sungguh-sungguh tidak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, atau aku pulangkan anda ke negeri Daus?” Dan kitab Ibnu ‘Asakir termasuk yang banyak memuat hadits-hadits dhaif (lemah), bahkan maudhu’ (palsu). Jika benar pernyataan tersebut, dapat difahami, bahwa kekhawatiran Umar Radhiallahu’anhu itu terhadap hadits-hadits yang terkadang dibuat oleh orang (yang diletakkan) bukan pada tempatnya, disebabkan mereka banyak membicarakan hadits-hadits yang mengandung masalah rukhsah (keringanan dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam), juga karena (dikhawatirkan) jika seseorang memperbanyak meriwayatkan hadits mungkin terjadi kesalahan atau kekeliruan, lalu orang-orang meriwayatkannya atau yang semisalnya. [4]
Namun, tampaknya zhahir kisah ini menunjukkan, bila hadits ini merupakan kepalsuan yang dilakukan oleh Rafidhah yang ingin menampakkan kesan kebencian Umar Radhiallahu’anhu kepada hadits-hadits Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam. Kemudian pernyataan Umar Radhiallahu’anhu sendiri menjadi bukti yang menunjukkan adanya kontradiksi isi kandungannya. Artinya, ancaman Umar Radhiallahu’anhu kepada Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dengan mengasingkannya ke negeri Daus tanah airnya tidaklah perlu, sebab pengasingan itu tidak tepat. Juga, periwayatan hadits-hadits tidak membutuhkan nasihat Umar Radhiallahu’anhu, jika dimaksudkan untuk menjaga hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Bila yang diriwayatkan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu itu tidak shahih, tidak benar pula Abu Hurairah Radhiallahu’anhu menghindari daerah Daus, sebuah negeri yang juga dapat melindunginya? Jika hadits-hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu itu tidak shahih menurut pandangan Umar Radhiallahu’anhu, niscaya ia akan secepatnya memotong lisan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu dan tidak perlu mengasingkannya ke negeri kaumnya atau ke daerah lainnya.[5]
Dan terdapat kisah ‘Umar menerima persaksian dan riwayat Abu Hurairah, diantaranya kisah yang diriwayatkan Imam Al Bukhari rahimahullah dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, ia berkata :
“Umar mendatangi seorang wanita yang bertato, lalu ia berdiri seraya berkata,“Bersumpahlah kalian dengan nama Allah. Siapa diantara kalian yang mendengar dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang tato?” Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berkata: Akupun bangkit dan berdiri, seraya berkata, “Saya mendengarnya, wahai Amirul Mukminin.” Umar Radhiallahu’anhu bertanya,“Bagaimana yang engkau dengar?” Abu Hurairah Radhiallahu’anhu menjawab,“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
‘Janganlah kalian bertato dan meminta untuk ditato’ “[6]
Ini semua merupakan bantahan langsung dari perbuatan ‘Umar atas berita bohong yang dinisbatkan kepadanya.
Demikian juga kisah ‘Aisyah Radhiallahu’anha yang disebutkan dalam tuduhan mereka diatas adalah pernyataan beliau :
“Tidakkah Abu Hurairah membuatmu heran, datang lalu duduk di samping kamarku menyampaikan hadits dari Rasulullah memperdengarkannya kepadaku dan aku sedang shalat sunnah, lalu ia pergi sebelum aku menyelesaikan shalat sunnahku. Seandainya aku mendapatinya tentu aku akan membantahnya. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak menyampaikan hadits seperti penyampaian kalian.”[7]
Inilah sebab pengingkarannya, Aisyah Radhiallahu’anhu tidak melemahkannya dan tidak juga menuduhnya sebagai pendusta sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian penuduhnya. Sekalipun demikian, ‘Aisyah Radhiallahu’anhu tetap mengakui, bahwa Abu Hurairah Radhiallahu’anhu meninggalkan tempat sebelum ia Radhiallahu’anha selesai dari shalatnya. Padahal waktu shalat bukanlah waktu yang lama.
Adapun pernyataannya “Jika aku menjumpainya, niscaya aku akan menjawabnya,” yakni niscaya aku akan menegurnya dan menjelaskannya, pelan dalam menyampaikan hadits itu lebih baik daripada memaparkannya secara cepat[8]. Perkataan Aisyah Radhiallahu’anhu “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak menyampaikan hadits seperti penyampaian kalian,” yaitu menyampaikan hadits dengan pelan dan tersusun rapi, berurutan (menyelesaikan yang satu, kemudian baru yang lainnya), agar tidak bercampur bagi yang mendengarnya.
Tidak ada dalam pernyataan ‘A’isyah yang menunjukkan ia menolak hadits Abu Hurairah atau menuduhnya telah berdusta atas nama Nabi atau membuat-buat hadits palsu. Bahkan ‘A’isyah menerima dan membenarkan periwayatan Abu Hurairah sebagaimana dalam hadits Khobaab yang bertanya kepada Ibnu Umar:
“Wahai Abdullah bin Umar tidakkah engkau mendengar apa yang disampaikan Abu Hurairah, bahwa beliau mendengar Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang keluar bersama jenazah dari rumahnya dan menyolatkannya kemudian mengiringinya sampai dikubur, maka ia mendapat pahala dua Qiraath. Setiap Qirath seperti gunung uhud. Barang siapa yang menyolatkan jenazah kemudian pulang, maka mendapat pahala seperti gunung uhud”. Lalu Ibnu Umar mengutus Khobaab ke ‘A’isyah untuk menanyakan perkataan Abu Hurariroh tersebut kemudian kembali kepadanya memberitahu pernyataan ‘A’isyah. Lalu Ibnu Umar mengambil segenggam kerikil masjid yang ia bolak-balikkan ditangannya sampai datang utusan beliau tersebut. Lalu berkata utusan tersebut: ”A’isyah berkata: ‘Sungguh benar Abu Hurairah’. Lalu Ibnu Umar membuang kerikil-krikil yang ada ditangannya ke tanah, kemudian berkata: ‘Kita telah kehilangan banyak qiraath’.[9]
Sedangkan pernyataan Imam ‘Ali yang mereka kemukakan di atas merupakan kedustaan sebagaimana disampaikan penulis kitab Difa’ ‘An Abu Hurairah: “Tidak ada referensi yang valid dan terpercaya yang menunjukkan adanya pernyataan yang menyakinkan, bahwa Ali Radhiallahu’anhu menuduh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu telah berdusta, atau melarangnya meriwayatkan hadits. Akan tetapi, sebagian musuh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berusaha berargumen dengan mengambil riwayat dari Abu Ja’far Al Iskaafi, bahwa ketika mendengar hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, (maka) Ali Radhiallahu’anhu berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya sedusta-dusta orang…,” atau ia berkata: “Sedusta-dusta orang terhadap Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ialah Abu Hurairah Ad Dausi”.
Riwayat ini adalah dhaif (lemah) dan tertolak. Sebab, jalur sanadnya dari Al Iskaafi; ia seorang pengikut hawa nafsu, sekaligus menyeru orang menuhankan hawa nafsunya. Disamping itu, ia juga seorang rawi yang tidak tsiqah[10]. Bahkan demikian ini merupakan dusta besar yang telah disingkap kebohongannya, berdasarkan kesepakatan sebagian besar putra, sahabat dan para panglima Ali Radhiallahu’anhu, serta sejumlah tokoh Syi’ah generasi awal dan anak keturunan Al Hasyimi tetap diam dan terus meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, atau meriwayatkan haditsnya melalui jalan periwayatan orang-orang terpercaya (tsiqat) jika mereka tidak mendengarnya langsung dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu.”[11]
Seandainya ada peringatan dan pengingkaran para sahabat terhadap banyaknya riwayat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, maka ini menunjukkan kepada kita, bahwa mereka selalu mengutamakan kehati-hatian, ketelitian, kejelian dalam meriwayatkan dan menyandarkan cara periwayatannya. Mereka tidak memperbanyak (menyampaikan hadits), karena takut terjatuh pada kekeliruan.
Ketika Abu Hurairah Radhiallahu’anhu memaparkan apa yang beliau dengar, tidak ada perasaan takut seperti mereka. Hal ini, karena kepercayaan Abu Hurairah terhadap hafalan serta daya ingatnya. Sehingga, bukanlah sesuatu yang aneh dan salah, jika kita mendapatkan ada orang yang memandang penting memperbanyak riwayat, sedangkan yang lain membatasi dengan mengingkari banyaknya riwayat Abu Hurairah. Khususnya, apabila seorang sahabat mendapatkan dhahir hadits-hadits yang memerintahkan untuk membatasi dalam meriwayatkan hadits dengan merajihkannya dari hadits-hadits lain, yang memerintahkan untuk menyampaikan dan memperbolehkan meriwayatkan hadits (secara bebas) -atau barangkali- belum mendengar hadits-hadits lainnya.[12]
Kemudian mereka mulai mempertanyakan kenapa Abu Hurairah banyak menyampaikan hadits melebihi para sahabat besar lainnya, seperti Khalifah Al Rasyidin. Usaha membandingkan riwayat Abu Hurairah dengan riwayat Khulafa’ Ar Rasyidin dalam jumlah hadits yang diriwayatkan mereka merupakan satu kesalahan yang besar, dengan dasar-dasar sebagai berikut:
1. Memang benar bahwa Khulafa’ Ar Rasyidin telah mendahului Abu Hurairah dalam persahabatan dan keislaman serta penerimaan hadits. Namun mereka sibuk mengurus permasalahan negara dan pengaturan hukum serta pengiriman para ulama, ahli qur’an dan Qadhi’(hakim). Sehingga mereka telah menunaikan amanat yang mereka emban sebagaimana mereka telah menunaikan amanat mengurus permasalahan umat. Sebagaimana kita tidak mencela Khalid bin Al Walid dengan sedikitnya periwayatan beliau dari Rasululllah karena sibuk dengan jihad. Demikian juga tidak mencela Abu Hurairah dengan banyaknya periwayatan beliau karena sibuk dengan ilmu. Setiap orang dimudahkan Allah kepada yang terbaik baginya.
2. Abu Hurairah meluangkan seluruh waktu dan pikirannya kepada ilmu dan pengajaran tanpa ikut serta dalam politik. Ditambah dengan kebutuhan orang kepada beliau karena usia panjang beliau. Hal ini membuat perbandingan antara beliau dengan sahabat-sahabat besar atau Khulafa’ Ar Rasyidin tidak benar.[13]
Rasa aneh dan tuduhan memperbanyak hadits telah dijawab oleh Abu Hurairah sendiri dalam pernyataannya:
“Sesungguhnya Abu Hurairah berkata: ‘Kalian akan menyatakan, bahwa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadits. Dan Allahlah tempat (untuk membuktikan) janji. Juga mengatakan ‘Mengapa orang-orang Al Muhajirin dan Anshor tidak banyak meriwayatkan hadits, seperti periwayatan Abu Hurairah?’ Sungguh, saudara- saudaraku dari Muhajirin disibukkan dengan jual-beli di pasar. Sedangkan saudara- saudaraku dari Anshor disibukkan oleh pengelolaan harta mereka. Adapun aku seorang miskin yang selalu mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam selama perutku berisi. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku ingat dan paham saat mereka lupa.”[14]
Dalam lafadz Imam Ahmad: “Sedang aku adalah seorang yang i’tikaf (berdiam diri di masjid (Ahlus Sifah), dan paling banyak turut serta dalam majelis-majelis Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku menghafalnya ketika mereka lupa.”[15]
Dalam lafadz Al Hakim: “Sungguh, isteri ataupun jual-beli di pasar tidak menyibukkan kami dari turut serta bersama Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam, melainkan aku meminta kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam satu kalimat yang Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam ajarkan kepadaku atau sesuap makanan yang Beliau berikan kepadaku“.[16]
Kita lihat dalam pernyataan dan sejarah Abu Hurairah, beliau telah mencurahkan seluruh potensinya untuk mendengar, menghafal dan menyaksikan seluruh peristiwa pada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ditambah dengan kemampuan beliau menghafal yang demikian kuat dan waktu mulazamahnya setelah berdatangan orang untuk masuk Islam. Tentunya hal ini meembuatnya dapat menghafal hadits-hadits yang tidak ada dikalangan sahabat lain.
Hal ini terbukti. Kita dapati sebagian besar kibaar sahabat (tokoh-tokoh besar sahabat) telah menyadari dan mengakui, bahwa mereka telah disibukkan dengan jual beli di pasar dari pada mendengarkan sebagian hadits-hadits Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam sebagaimana yang dilukiskan oleh Abu Hurairah Radhiallahu’anhu. Lihatlah, Al Faruq Umar bin Khaththab mendengar sebuah hadits dari Abu Musa Al Asy’ari, lalu ia mengingkarinya, sampai Abu Said Al Khudri bersaksi menguatkan Abu Musa Al Asy’ari, bahwa ia mendengar hadits itu juga, lalu Umar (pun) berkata:
“Aku belum tahu hadits ini termasuk perkara Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Jual-beli di pasar telah melalaikanku dari mendengar hadits ini” [17].
Bahkan tidak hanya jual-beli yang melalaikan Beliau Radhiallahu’anhu semata. Juga tempat tinggal Beliau yang berada di ‘Awaali[18] Madinah. Tidak seperti Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang hanya beberapa langkah dari kamar Aisyah Radhiallahu’anhu. Jika demikian, maka tidaklah aneh jika Abu Hurairah Radhiallahu’anhu mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh sahabat-sahabat lama (tokoh besar sahabat). [19]
Dengan demikian tertolaklah tuduhan orang-orang yang beralasan dengan sedikitnya hadits yang diriwayatkan oleh kibarush shahabah (sahabat senior) untuk menolak dan mendustakan riwayat-riwayat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang telah banyak meriwayatkan hadits. Tidak lain mereka sendirilah yang berdusta. Sedikitnya riwayat dari sahabat senior Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, tak lain karena mereka telah wafat sebelum dibutuhkan oleh umat. Dan yang banyak riwayatnya, hanyalah dari Umar bin Al Khathab dan Ali bin Abi Thalib. Sebab, keduanya dijadikan pemimpin (kaum muslimin), sehingga ditanya dan memutuskan perkara kaum muslimin.
Seluruh sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah para pemimpin tauladan yang dicontoh dan dikenang seluruh amalan yang mereka kerjakan. Mereka dimintai fatwa dan berfatwa; mereka mendengar hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam lalu menyampaikannya. Sehingga banyak sahabat-sahabat senior yang lebih sedikit haditsnya dibanding dengan lainnya; seperti: Abu Bakar, Utsman, Thalhah, Az Zubair, Sa’ad bin Abi Waqash, Abdul Rahman bin Auf, Abu Ubaidah bin Al Jarrah, Sa’ad bin Zaid bin Amr bin Naufal, Ubay bin Ka’ab, Sa’ad bin Ubadah, Ubadah bin Ash Shamith, Usaid bin Khudhair, Muadz bin Jabal dan lainnya yang segenerasi dengan mereka radiyallahu’anhum. Kita tidak mendapatkan mereka banyak meriwayatkan hadits sebagaimana para sahabat-sahabat muda, seperti: Jabir bin Abdullah, Abu Sa’id Al Khudri, Abdullah bin Umar bin Al Khaththab, Abdullah bin Amr bin Al Ash, Abdullah bin Abbas, Rafi’ bin Khudaij, Anas bin Malik, Al Barra’ bin Azib dan yang segenerasi dengan mereka; sebab mereka hidup (setelah para tokoh tua sahabat) dan berumur panjang, sehingga orang-orang membutuhkan mereka. Sementara itu, banyak para sahabat sebelum dan setelahnya meninggal bersama ilmunya. Sebagian mereka ada yang tidak menyampaikan satu haditspun dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, yang mungkin lebih lama bersahabat, belajar dan mendengar hadits Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam dibandingkan dengan orang yang meriwayatkan hadits. Akan tetapi kita memahami hal ini, karena mereka sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Atau yang bersangkutan tidak perlu menyampaikan, karena banyaknya sahabat-sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam (yang telah meriwayatkan hadits). Atau karena kesibukkan mereka dengan ibadah dan pergi berjihad di jalan Allah hingga mereka wafat, dan tidak satu pun hadits yang diriwayatkan darinya.
Al Mu’allimi rahimahullah berpendapat, disana ada dua tugas. Yang pertama menerima hadits dan penjelasan langsung dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Yang kedua adalah tugas menyampaikan.
Adapun menerima hadits dan penjelasan langsung dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam (talaqqi), maka para sahabat tidak mampu terus-menerus bermulazamah (mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) dengan konsisten; sedangkan Anas dan Abu Hurairah radiyallahu’anhuma secara terus-menerus mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk melayani Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam. Hal itu menunjukkan secara pasti, bahwa keduanya menerima langsung dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam lebih banyak, dibandingkan dengan talaqqi para shahabat yang sibuk dengan perdagangan dan pertaniannya. Disamping itu, Abu Hurairah Radhiallahu’anhu memiliki antusiasme yang tinggi terhadap ilmu, juga talaqqi hadits-hadits yang dihafal orang-orang yang telah mendahuluinya dalam bersahabat dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, sehingga terkadang beliau meriwayatkannya dari mereka.[20]
Adapun dalam hal menyampaikan. Sesungguhnya Abu Bakar Radhiallahu’anhu hanya hidup pada masa penyampaian hadits selama kurang lebih dua tahun, dan dalam keadaan sibuk melaksanakan tugas menata permasalahan kaum muslimin. Sedangkan Umar Radhiallahu’anhu, pada masa Abu Bakar Radhiallahu’anhu, (ia) disibukkan dengan tugas kementerian (pendamping Abu Bakr) dan perdagangan. Setelah wafatnya Abu Bakar Radhiallahu’anhu ia sibuk menata dan mengatur urusan kaum muslimin.
Diriwayatkan dalam kitab Al Mustadrak, bahwa Muadz bin Jabal Radhiallahu’anhu mewasiatkan sahabat-sahabatnya untuk mencari ilmu. Lalu beliau menyebutkan kepada mereka nama-nama: Abu Darda’, Salman, Ibnu Mas’ud dan Abdullah bin Sallam, radiyallahu’anhum. Lalu Yazid bin Umairah berkata,“Lalu (bagaimana) Umar bin Al Khathab?” Muadz Radhiallahu’anhu menjawab,“Janganlah anda bertanya kepada Umar, sebab ia orang yang sibuk.”
Demikian juga Utsman dan Ali radhiyallahu’anhuma pada masa hidupnya disibukkan dengan tugas-tugas kementerian (pendamping Khalifah) dan lainnya, kemudian disibukkan dengan tugas sebagai khalifah dan menghadapi berbagai macam fitnah dan ujian. Orang yang semangat dan gemar mencari ilmu, mengejar mereka dan yang semisalnya; memandang seluruh shahabat adalah orang-orang yang tsiqah (terpercaya). Karenanya mereka menganggap cukup dengan kedudukan sahabat- sahabat. Para sahabat generasi senior memandang, bukan menjadi suatu keharusan yang mendesak atas mereka untuk menyampaikan (hadits), kecuali jika dibutuhkan. Juga memandang cukup, jika amal sudah dilakukan berdasarkan hal tersebut, sehingga tidak ada sedikitpun dari Sunnah Nabi yang diabaikan. Disebabkan para sahabat masih sangat banyak dan masa tinggal serta kehidupan mereka akan panjang. Begitu pula berbagai kegiatan yang membutuhkan tabligh (penyampaian hadits) amatlah banyak. Atas itu semua, Allah Ta’ala telah berjanji menjaga syariatNya. Meskipun demikian, mereka pun sangat hati-hati terhadap dirinya, karena takut salah. Mereka juga berpendapat, jika ada salah seorang diantara mereka keliru saat dibutuhkan menyampaikan (hadits), maka yang bersangkutan termaafkan; (ini) berbeda jika menyampaikannya sebelum dibutuhkan lalu ia keliru. Sekalipun demikian, mereka sangat suka orang lain yang mencukupkannya. Walaupun demikian adanya, mereka tetap meriwayatkan berbagai macam hadits. Sampai kepada mereka dari sebagiannya, bahwa Abu Hurairah telah banyak meriwayatkan hadits dan tidak ada yang mengingkarinya. Yang ada, hanyalah kisah yang menunjukkan, bahwa memperbanyak riwayat menyalahi yang utama.[21]
Yang aneh bin ajaib, ada orang yang kaget dengan banyaknya hadits Abu Hurairah dan lebih aneh lagi dibahas pada abad kedua puluhan ini! Apakah kaget dengan hafalan Abu Hurairah yang mampu menghafal 5374 hadits? Atau kaget beliau menghafal sejumlah ini dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam selama tiga tahunan? Jika kaget dengan kuatnya hafalan beliau, maka ini bukanlah sarana untuk mencelanya, karena banyak orang Arab yang telah menghafal lebih banyak dari hafalan Abu Hurairah. Kita lihat banyak para sahabat yang telah hafal Al Qur’an, hadits dan syair-syair. Lalu apa katanya tentang mereka? Apa yang ia katakan tentang hafalan Abu Bakar tentang nasab Arab? Apa yang dikatakannya tentang Hammaad Al Raawiyah orang yang paling tahu sejarah, syair, berita, nasab dan bahasa orang Arab? Apa yang dikatakan padanya jika ia menyampaikan untuk setiap huruf hija’iyah seratus qasidah yang panjang dari syair jahiliyah saja? Apa yang dikatakannya tentang hafalan hibrul umat Ibnu Abaas dan hafalan imam Az Zuhriy, Asy Sya’bi dan Qatadah bin Da’amah Al Sadusi? Jadi hafalan Abu Hurairah bukanlah baru dan aneh. Apalagi bila diketahui bahwa hadits-hadits yang berjumlah 5374 itu tidak semuanya shahih. Sehingga Abu Hurairah tidak dapat dituduh melalui hafalan dan banyaknya hadits beliau ini. Jika ia kaget dengan kemampuan Abu Hurairah menerima hadits-hadits yang banyak ini dari Rasulullah selama 3 tahun, maka ia telah lupa bahwa Abu Hurairah bersahabat dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam di tahun-tahun yang penting. Masa terjadinya peristiwa-peristiwa sosial, politik dan pensyari’atan secara umum sehingga memungkinkan beliau menghafal seluruhnya.[22]
Penutup
Tuduhan dan syubhat yang dilontarkan musuh Islam seputar sahabat Abu Hurairah masih sangat banyak, namun sebagaian yang telah dibantah diatas mudah-mudahan dapat menjadi ibroh bagi kaum muslimin dan menjadi peringatan terhadap bahaya yang mengancam mereka.
Sebagai penutup kami bawakan pernyataan Ibnu Khuzaimah yang dinukil Dr. Muhammad ‘Ajaaj Al Khathib dalam kitab As Sunnah Qabla Al Tadwiin dari Al Mustadrak ‘Ala Al Shahihain karya imam Al Hakim. Nashnya sebagai berikut:
“Orang yang telah buta hatinya mencela Abu Hurairah hanya karena ingin menolak hadits beliau. Karena mereka tidak faham maknanya. Orang tersebut adakalanya seorang mu’aththil jahmi (pengikut alirat sesat Jahmiyah (pen)) yang mendengar hadits-hadits beliau yang menyelisihi madzhab mereka yang kufur, lalu mencela Abu Hurairah dan menuduhnya dengan tuduhan yang Allah telah sucikan darinya dalam rangka membuat opini pada orang awam dan rendahan bahwa hadits-hadits beliau tidak benar. Adakalanya ia seorang khowarij yang mengangkat pedang kepada kaum muslimin dan tidak memandang kewajiban mentaati khalifah dan imam. Jika ia mendengar hadits-hadits Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyelisihi madzhabnya yang sesat, tidak dapat cara menolak berita-berita beliau ini dengan hujjah maka ujungnya mencela Abu Hurairah. Atau seorang Qadariy (pengikut aliran sesat Qadariyah) yang meninggalkan islam dan kaum muslimin dan mengkafirkan kaum muslimin yang mengikuti takdir yang telah ditakdirkan Allah dahulu dan tetapkan sebelum hamba itu melakukannya. Jika melihat hadits-hadits yang beliau sampaikan dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam menetapkan taqdir, tidak mendapatkan hujjah yang mendukung pendapat mereka yang merupakan kekufuran dan kesyirikan, maka hujahnya adalah menyatakan bahwa berita-berita Abu Hurairah tidak boleh dipakai sebagai hujjah. Atau seorang bodoh yang ingin menjadi faqih dan mencarinya bukan dari tempatnya, jika mendengar berita Abu Hurairah menyelisihi pendapat madzhab orang yang dipilihnya dengan taklid tanpa hujjah, maka mencela Abu Hurairah dan menolak hadits-haditsnya yang menyelisihi madzhab mereka dan berhujah dengan hadits-hadits Abu Hurairah atas orang yang menyelisihinya jika haditsnya tersebut sesuai dengan madzhabnya!!!”[23]
Demikian sebagian syubhat yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam atas diri Abu Hurairah radhiyallahu anhu dan masih banyak syubhat-syubhat yang mereka lontarkan. Semoga pengupasanyang sedikit ini bermanfaat.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel Disalin dari UstadzKholid.com. Peletakan nomor footnote pada naskah telah dicocokkan dengan artikel di Majalah As-Sunnah Edisi 03/ Tahun VIII/1425H/1994M, hal. 29-34, dengan judul Abu Hurairah -Radhiallahu’anhu- Teraniaya